Jumat, 18 Mei 2012
Kamis, 17 Mei 2012
Proker Lembaga Fort Rotherdam Institute Sul-Sel-Indonesia
PROGRAM
KERJA FORT ROTHERDAM INSTITUTE PERIODE 2011-2013
Berdasarkan
Visi, Misi, Tujuan dan Sasaran Organisasi maka disusunlah program
kerja lembaga dari kurun waktu tahun pertama 2012-2013 yang
dilaksanakan di tingkat devisi maupun ditingkat lembaga secara umum
dengan pendekatan kerja yaitu penelitian, pendidikan dan pelatihan,
seminar, serta advokasi masyarakat dan kemitraan dengan instansi
pemerintah dengan pembagian kinerja periodik maupun insidentil, yakni
sebagai berikut :
-
DEVISI BIDANG
PEMUDA DAN PERGURUAN TINGGI
Penelitian
dan pengkajian isu strategis dibidang pemuda dan perguruan tinggi,
dengan pola kerja devisi berupa diskusi rutin maupun kegiatan lainya
yang berkaitan dengan bidang kajiannya, waktu pelaksanaan kegiatan
ditargetkan pada awal januari sampai akhir februari 2012
-
DEVISI BIDANG
PERENCANAAN, PENGKAJIAN DAN PENELITIAN KEBIJAKAN PUBLIK
Penelitian
dan pengkajian isu strategis dibidang kebijakan publik, dengan pola
kerja devisi berupa diskusi rutin maupun kegiatan lainya yang
berkaitan dengan bidang kajiannya, waktu pelaksanaan kegiatan
ditargetkan pada awal maret sampai akhir april 2012
-
DIVISI BIDANG
HUBUNGAN EXTERNAL DAN KERJASAMA ORGANISASI
Penelitian
dan pengkajian isu strategis dibidang hubungan external dan kerjasama
organisasi, dengan pola kerja devisi berupa diskusi rutin dan maupun
kegiatan lainya yang berkaitan dengan bidang kajiannya, waktu
pelaksanaan kegiatan ditargetkan pada awal mei sampai akhir juni 2012
-
DIVISI BIDANG
PENDIDIKAN DAN TEKHNOLOGI
Penelitian
dan pengkajian isu strategis dibidang pendidikan dan tekhnologi,
dengan pola kerja devisi berupa diskusi rutin maupun kegiatan lainya
yang berkaitan dengan bidang kajiannya, waktu pelaksanaan kegiatan
ditargetkan pada awal juni sampai akhir agustus 2012
-
DIVISI BIDANG
USAHA DAN EKONOMI POLITIK
Penelitian
dan pengkajian isu strategis dibidang usaha dan ekonomi politik,
dengan pola kerja devisi berupa diskusi rutin maupun kegiatan lainya
yang berkaitan dengan bidang kajiannya, waktu pelaksanaan kegiatan
ditargetkan pada awal september sampai akhir oktober 2012.
-
DEVISI BIDANG
HUKUM DAN ADVOKASI
Penelitian
dan pengkajian isu strategis dibidang hukum dan advokasi, dengan pola
kerja devisi berupa diskusi rutin maupun kegiatan lainya yang
berkaitan dengan bidang kajiannya, waktu pelaksanaan kegiatan
ditargetkan pada awal november sampai akhir desember 2012.
Pelaksanaan
kegiatan organisasi yang bersifat rutin seperti, diskusi dan
penelitian ilmiah baik yang dilaksanakan perminggu ataupun perbulan
menjadi tugas pokok dari setiap devisi sesuai dengan topik utama yang
diangkat. Adapun kegiatan yang bersifat insidentil seperti
peringatan hari-hari besar nasional dan isu strategis berskala
regional maupun nasional dilaksanakan secara serentak oleh seluruh
komponen pengurus organisasi.
Metode
riset, observasi dan survey merupakan alat utama bagi lembaga Fort
Rotherdam Institute dalam mengelola isu-isu strategis yang dikaji.
Spesifikasi dan deskripsi program kerja lembaga dijabarkan dalam term
of reference kegiatan yang dilaksanakan.
Ditetapkan
di : Makassar
Pada
tanggal : 11 oktober 2011
Fort
Rotherdam Institute
Sulawesi
Selatan Indonesia
A.MAzhar.Al-Jurida,SIP IRSAN.SIP
Direktur
Eksekutif Sekretaris Jendral
DEVISI BIDANG
PEMUDA DAN PERGURUAN TINGGI
DEVISI BIDANG
PERENCANAAN, PENGKAJIAN DAN PENELITIAN KEBIJAKAN PUBLIK
DIVISI BIDANG
HUBUNGAN EXTERNAL DAN KERJASAMA ORGANISASI
DIVISI BIDANG
PENDIDIKAN DAN TEKHNOLOGI
DIVISI BIDANG
USAHA DAN EKONOMI POLITIK
DEVISI BIDANG
HUKUM DAN ADVOKASI
Karya Ilmiah Peran Legislative Dalam Mewujudkan Goodgovernance
PENDAHULUAN
- Latar Belakang
Kepemerintahan daerah yang baik (good
local governance) merupakan issue
yang paling mengemuka dalam pengelolaan administrasi publik dewasa
ini. Tuntutan yang dilakukan masyarakat kepada pemerintah untuk
pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan daerah yang baik adalah
sejalan dengan meningkatnya pengetahuan masyarakat di samping adanya
globalisasi pergeseran paradigm pemerintahan dari “rulling
government” yang terus bergerak menuju “good governance”dipahami
sebagai suatu fenomena berdemokrasi secara adil. Untuk itu perlu
memperkua peran dan fungsi DPRD agar eksekutif dapat menjalankan
tugasnya dengan baik. DPRD yang seharusnya mengontrol jalannya
pemerintahan agar selalu sesuai dengan aspirasi masyarakat, bukan
sebaliknya merusak dan mengkondisikan Eksekutif untuk melakukan
penyimpangan-penyimpangan terhadap aturan – aturan yang
berlaku,melakukan kolusi dalam pembuatan anggaran agar menguntungkan
dirinya, serta setiap kegiatan yang seharusnya digunakan untuk
mengontrol eksekutif, justru sebaliknya digunakan sebagai kesempatan
untuk “memeras” eksekutif sehingga eksekutif perhatiannya menjadi
lebih terfokus untuk memanjakan anggota DPRD dibandingkan dengan
masyarakat keseluruhan. Dengan demikian tidak aneh, apabila dalam
beberapa waktu yang lalu beberapa anggota DPRD dari berbagai
Kota/Kabupaten ataupun provinsi banyak yang menjadi tersangka atau
terdakwa dalam berbagai kasus yang diindikasikan korupsi. Hal ini
yang sangat disesalkan oleh semua pihak, perilaku kolektif anggota
dewan yang menyimpang dan cenderung melanggar aturan-aturan hukum
yang berlaku. Walaupun maraknya korupsi di DPRD ini secara kasat mata
banyak diketahui masyarakat namun yang diadili dan ditindak lanjuti
oleh aparat penegak hukum, sangatlah sedikit. Faktor ini dapat memicu
ketidakpuasan masyarakat terhadap supremasi hukum di Negara kita.
Elite politik yang seharusnya memberikan contoh dan teladan kepada
masyarakat justru melakukan tindakan-tindakan yang tidak terpuji,
memperkaya diri sendiri, dan bahkan melakukan pelanggaran hukum
secara kolektif. Lemahnya penegakan hukum ini dapat memicu terjadinya
korupsi secara kolektif oleh elite politik terutama anggota DPRD ini.
Untuk menghindari adanya kooptasi politik antara kepala Daerah dengan
DPRD maupun sebaliknya perlu dijalankan melalui prinsip “Check
and Balances” artinya adanya
keseimbangan serta merta adanya pengawasan terus menerus terhadap
kewenangan yang diberikannya . Dengan demikian anggota DPRD dapat
dikatakan memiliki akuntabilitas, manakala memiliki “ rasa tanggung
jawab “ dan “kemampuan” yang profesional dalam menjalankan
peran dan fungsinya tersebut. Mekanisme “Check
and Balances”
memberikan peluang eksekutif untuk mengontrol legislatif. Walaupun
harus diakui oleh DPRD (Legislatif)
memiliki posisi politik yang sangat kokoh dan seringkali tidak
memiliki akuntabilitas politik karena berkaitan erat dengan system
pemilihan umum yang dijalankan. Untuk itu kedepan perlu kiranya
Kepala Daerah mempunyai keberanian untuk menolak suatu usulan dari
DPRD terhadap kebijakan yang menyangkut kepentingannya, misalnya
kenaikan gaji yang tidak masuk masuk akal,permintaan tunjangan yang
berlebihan, dan membebani anggaran daerah untuk kegiatan yang kurang
penting. Mekanisme “Check and
Balances” ini dapat meningkatkan
hubungan eksekutif dan legislatif dalam mewujudkan kepentingan
masyarakat. DPRD sebagai lembaga legislatif yang kedudukannya sebagai
wakil rakyat tidak mungkin melepaskan dirinya dari kehidupan rakyat
yang diwakilinya . Oleh karena itu secara material mempunyai
kewajiban untuk memberikan pelayanan kepada rakyat atau publik yang
diwakilinya. DPRD sebagai wakil rakyat dalam tindakan dan perbuatan
harus menyesuaikan dengan norma-norma yang dianut dan berlaku dalam
kebudayaan rakyat yang diwakilinya. Dengan demikian DPRD tidak akan
melakukan perbuatan yang tidak terpuji, menguntungkan pribadi dan
membebani anggaran rakyat untuk kepentingannya. Dengan memahami etika
pemerintahan diharapkan n dapat mengurangi tindakan-tindakan yang
tercela, tidak terpuji dan merugikan masyarakat. Untuk itu perlu
kiranya dibuatkan “kode etik” untuk para anggota DPRD yang dapat
dijadikan pedoman dalam pelaksanaan peran dan fungsinya, sehingga
kewenangan yang besar juga disertai dengan tanggung jawab yang besar
pula. Sosok ideal DPRD yang bermoral, aspiratif dengan kepentingan
rakyat , dan selalu memperjuangkan kesejahteraan masyarakat dapat
terwujud. Kuncinya baik eksekutif maupun legislatif harus terjalin
komunikasi timbale balik dan adanya keterbukaan diantara para pihak
dalam penyelesaian segala permasalahan dalam mewujudkan kesejahteraan
rakyatnya. Harapan-harapan tersebut dapat terwujud dengan adanya
pemilihan Kepala daerah secara langsung, yang akan memperkuat posisi
Kepala Daerah sehingga dapat menjadi mitra yang baik bagi DPRD dalam
mengatasi berbagai persoalan yang dihadapi. Peran dan fungsi DPRD
akan terjadi perubahan yang cukup signifikan seiring dengan
pengurangan kewenangan yang dimilikinya tersebut. Dengan adanya
keseimbangan hak dan kewenangan tersebut antara eksekutif dan
legislatif diharapkan korupsi yang marak terjadi di DPRD (legislatif)
dapat berkurang seiring dengan pematangan demokrasi dalam kehidupan
masyarakat. Terwujudnya “Clean and
good governance” merupakan harapan
semua masyarakat.
Berdasarkan hal di atas maka penulis member
judul “ Peran Dan Fungsi Lembaga DPRD Di Kota Makassar.
dalam pencapaiam Goodgovernace “
- Rumusan Masalah
Dari latar belakang tersebut, maka rumusan masalah dalam penulisan
ini adalah sebagai berikut:
- Faktor-faktor apa yang menyebabkan sulitnya pencapaian Goodgovernace/Pemerintahan yang baik
- Kurangnya pemahaman terhadapa fungsi dan peran anggota legislative di tingkat daerah.sehingga menjadi kendala untuk pencapaian goodgovernace
- Apakah yang menjadi kendala yang dihadapi pemrintah dalam hal ini lembaga legislative Kab.Morowali dalam mewujudkan goodgovernace.
- Tujuan dan Kegunaan Penelitian
- Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan
penelitian ini adalah sebagai berikut:
- Untuk mengetahui sejauh mana peran dan fungsi anggota legislative dalam mewujudkan pemerintahan yang baik ( Goodgovernace )
- Untuk lebih memahami fungsi dan peran legislative dalam pembangunan daerah menuju pemarintahan yang bersih dan baik..
- Untuk mengetahui kendala-kendala yang dihadapi oleh lembaga legislative dalam proses pencapaian goodgernace. Di Kota Makassar.
- Kegunaan Penelitian
Adapun kegunaan penelitian ini adalah sebagai berikut:
- Kegunaan Teoretis
Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan
diskusi untuk pembahasan mengenai tata cara
serta strategi pencapaian pemerintahan yang baik atau “goodgovernace”
- Kegunaan Praktis
Hasil penelitian ini selanjutnya dapat memberikan
masukan yang berarti dalam penerapan bagi
unsure pemerintah di
guna mewujudkan “goodgovernace”
atau pemerintahan yang baik.
BAB
II
TINJAUAN
PUSTAKA
- Pengertian
- “Goodgovernace” Atau pemerintahan yang baik
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa baik
buruknya tata pemerintahan dijalankan
mempunyai hubungan kausualitas yang erat dengan hasil-hasil
pembangunan. Misalnya, penelitian Kaufmann, Kraay, dan Zoido-Lobaton
(1999) menunjukkan bahwa kenaikan satu standar deviasi salah satu
indicator pemerintahan menyebabkan kenaikan antara 2,5 sampai 4 kali
pendapatan per kapita (range yang
sama juga berlaku untuk penurunan angka kematian bayi), dan kenaikan
tingkat melek huruf huruf antara 15 sampai 25 persen. Beberapa
penelitian lainnya juga menunjukkan hubungan kausalitas positif
antara efisiensi birokrasi dan menurunnya tingkat korupsi dengan
pertumbuhan ekonomi dan investasi asing7. Bagi Indonesia, relevansi
konsep ini menjadi sangat tinggi setelah banyak pihak menyalahkan
‘bad/poor governance’
sebagai faktor penyebab utama negara ini menjadi yang kondisi sosial
ekonominya paling buruk di antara sekian banyak negara Asia yang
terkena krisis moneter 1997. Definisi
umum governance adalah
tradisi dan institusi yang menjalankan kekuasaan di dalam suatu
negara, termasuk (1) proses
pemerintah dipilih, dipantau, dan digantikan, (2) kapasitas
pemerintah untuk memformulasikan dan melaksanakan kebijakan secara
efektif, dan
(3)
pengakuan masyarakat dan negara terhadap berbagai institusi yang
mengatur interaksi antara mereka. Unsur yang terakhir dapat dilakukan
melalui tiga struktur komunikasi, yaitu kewenangan, legitimasi, dan
representasi8. Kewenangan
adalah hak pemerintah untuk membuat keputusan dalam bidang tertentu.
Walaupun ini merupakan hak dari suatu pemerintah modern, namun yang
terpenting adalah bagaimana melibatkan persepsi rakyat tentang
tindakan yang perlu dilakukan pemerintah. Legitimasi
diperoleh karena masyarakat mengakui
bahwa pemerintah telah menjalankan peranannya dengan baik, atau
kinerja dalam menjalankan kewenangan itu tinggi. Representasi
diartikan sebagai hak untuk mewakili
pengambilan keputusan bagi kepentingan golongan lain dalam kaitannya
dengan alokasi sumber daya. Dari sini terlihat bahwa good
governance tidaklah terbatas pada
bagaimana pemerintah menjalankan wewenangya dengan baik semata,
tetapi lebih penting lagi : adalah bagaimana masyarakat dapat
berpartisipasi dan mengontrol pemerintah untuk menjalankan wewenang
tersebut dengan baik
(
accountable).
Karenanya, seringkali tata pemerintahan yang baik dipandang sebagai
“sebuah bangunan dengan 3 tiang”. Ketiga tiang penyangga itu
adalah Transparansi, Akuntabilitas, dan Partisipasi.
1.1
Transparansi
Transparansi berarti
terbukanya akses bagi semua pihak yang berkepentingan terhadap setiap
informasi terkait --seperti berbagai peraturan dan
perundang-undangan, serta kebijakan pemerintah– dengan biaya yang
minimal. Informasi sosial, ekonomi, dan politik yang andal (
reliable)
dan berkala haruslah tersedia dan dapat diakses oleh public (biasanya
melalui filter media massa yang bertanggung jawab). Artinya,
transparansi dibangun atas pijakan kebebasan arus informasi yang
memadai disediakan untuk dipahami dan (untuk kemudian) dapat
dipantau. Transparansi jelas mengurangi tingkat ketidakpastian dalam
proses pengambilan keputusan dan implementasi kebijakan publik.
Sebab, penyebarluasan berbagai informasi yang selama ini aksesnya
hanya dimiliki pemerintah dapat memberikan kesempatan kepada berbagai
komponen masyarakat untuk turut mengambil keputusan. Oleh karenanya,
perlu dicatat bahwa informasi ini bukan sekedar tersedia, tapi juga
relevan dan bisa dipahami publik. Selain itu, transparansi ini dapat
membantu untuk mempersempit peluang korupsi di kalangan para pejabat
publik dengan “terlihatnya” segala proses pengambilan keputusan
oleh masyarakat luas.
1.2
Akuntabilitas
Akuntabilitas atau accountability
adalah kapasitas suatu instansi
pemerintahan untuk bertanggung jawab atas keberhasilan maupun
kegagalannya dalam melaksanakan misinya dalam mencapai tujuan dan
sasaran yang ditetapkan secara periodik. Artinya, setiap instansi
pemerintah mempunyai kewajiban untuk mempertanggungjawabkan
pencapaian organisasinya dalam pengelolaan sumberdaya yang
dipercayakan
kepadanya,
mulai dari tahap perencanaan, implementasi, sampai pada pemantauan
dan evaluasi. Akuntabilitas merupakan kunci untuk memastikan bahwa
kekuasaan itu dijalankan dengan baik dan sesuai dengan
kepentingan publik. Untuk itu, akuntabilitas mensyaratkan kejelasan
tentang siapa yang bertanggunggugat, kepada siapa, dan apa yang
dipertanggunggugatkan. Karenanya, akuntabilitas bisa berarti pula
penetapan sejumlah kriteria dan indikator untuk mengukur kinerja
instansi pemerintah, serta mekanisme yang dapat mengontrol dan
memastikan tercapainya berbagai standard tersebut. Berbeda dengan
akuntabilitas dalam sektor swasta yang bersifat dual-accountability
structure (kepada
pemegang saham dan konsumen), akuntabilitas pada sektor public
bersifat multiple-accountability
structure. Ia dimintai
pertanggungjawaban oleh lebih banyak pihak yang mewakili pluralisme
masyarakat. Rincinya, kinerja suatu instansi pemerintah harus dapat
dipertanggungjawabkan terhadap atasan, anggota DPRD, organisasi
nonpemerintah, lembaga donor, dan komponen masyarakat lainnya. Semua
itu berarti pula, akuntabilitas internal (administratif) dan
eksternal ini menjadi sama
pentingnya. Akhirnya, akuntabilitas menuntut adanya kepastian hukum
yang merupakan resultan dari hukum dan perundangan-undangan yang
jelas, tegas, diketahui publik di satu pihak, serta upaya penegakan
hukum yang efektif , konsisten, dan tanpa pandang bulu di pihak lain.
Kepastian hukum juga merupakan indikator penting dalam menimbang
tingkat kewibawaan suatu pemerintahan, legitimasinya di hadapan
rakyatnya, dan dunia internasional.
1.3
Partisipasi
Partisipasi merupakan perwujudan dari berubahnya
paradigma mengenai peran masyarakat dalam
pembangunan. Masyarakat bukanlah sekedar penerima manfaat
(beneficiaries)
atau objek belaka, melainkan agen pembangunan (subjek) yang mempunyai
porsi yang penting. Dengan prinsip “dari dan untuk rakyat”,
mereka harus memiliki akses pada pelbagai institusi yang
mempromosikan pembangunan. Karenanya, kualitas hubungan antara
pemerintah dengan warga yang dilayani dan
dilindunginya
menjadi penting di sini. Hubungan yang pertama mewujud lewat proses
suatu pemerintahan dipilih. Pemilihan anggota legislatif dan pimpinan
eksekutif yang bebas dan jujur merupakan kondisi inisial yang
dibutuhkan untuk memastikan bahwa hubungan antara pemerintah –-yang
diberi mandat untuk menjadi “dirigen” tata pemerintahan
ini—dengan masyarakat (yang diwakili legislatif) dapat berlangsung
dengan baik. Pola hubungan yang kedua adalah keterlibatan masyarakat
dalam proses pengambilan keputusan. Kehadiran tiga domain
pemerintah, sektor swasta, dan
masyarakat sipil dalam proses ini amat penting untuk memastikan bahwa
proses “pembangunan” tersebut dapat memberikan manfaat yang
terbesar atau “kebebasan” (mengutip Amartya Zen) bagi
masyarakatnya. Pemerintah menciptakan lingkungan politik, ekonomi,
dan hukum yang kondusif. Sektor s wasta menciptakan kesempatan kerja
yang implikasinya meningkatkan peluang 6 untuk meningkatkan
pendapatan masyarakat. Akan halnya masyarakat sipil (lembaga swadaya
masyarakat, organisasi masyarakat, organisasi keagamaan, koperasi,
serikat pekerja, dan sebagainya) memfasilitasi interaksi
sosial-politik untuk berpartisipasi dalam berbagai aktivitas ekonomi,
sosial, dan politik. Sementara itu, di tingkat praktis, partisipasi
dibutuhkan untuk mendapatkan informasi yang andal dari sumber
pertama, serta untuk mengimplementasikan pemantauan atas atas
implementasi kebijakan pemerintah, yang akan meningkatkan “rasa
memiliki” dan kualitas implementasi kebijakan tersebut. Di
tingkatan yang berbeda, efektivitas suatu kebijakan dalam pembangunan
mensyaratkan adanya dukungan yang luas dan kerja sama dari semua
pelaku (stakeholders)
yang terlibat dan memiliki kepentingan.
2.
Mewujudkan Good Governance
Secara analogi, governance
dalam konteks organisasi secara
umum, baik berupa organisasi perusahaan maupun organisasi publik atau
sosial lainnya, maka dapat diartikan pula sebagai suatu sistem dan
struktur yang baik dan benar yang menciptakan kejelasan mekanisme
hubungan organisasi baik secara internal maupun eksternal. Good
governance terwujud
dalam implementasi dan penegakan (enforcement)
dari sistem dan struktur yang telah
tersusun dengan baik. Implementasi dan penegakan tersebut bertumpu
pada, umumnya, lima prinsip yang universal yaitu: responsibility,
accountability, fairness,
independency, dan transparency.
Kelima prinsip fundamental tersebut
dapat dijelaskan secara singkat berikut ini: • Responsibility:
kesesuaian di dalam pengelolaan perusahaan terhadap prinsip korporasi
yang sehat serta peraturan perundangan yang berlaku; •
Accountability:
kejelasan fungsi, struktur, sistem dan prosedur pertanggungjawaban
organ perusahaan sehingga pengelolaan perusahaan terlaksana secara
efektif; • Fairness:
perlakuan yang adil dan setara di dalam memenuhi hak-hak stakeholder
yang timbul berdasarkan perjanjian dan peraturan perundangan yang
berlaku; • Independency:
pengelolaan secara profesional, menghindari benturan kepentingan dan
tekanan pihak manapun sesuai peraturan perundangan yang berlaku; •
Transparency:
keterbukaan informasi di dalam proses pengambilan keputusan dan di
dalam mengungkapkan informasi material dan relevan mengenai
perusahaan. Kelima prinsip tersebut bukanlah harga
mati atau one
size fits all, artinya dalam
menerapkan dan menegakkan good
governance kelima prinsip tersebut
disesuaikan dengan budaya dan problem masing-masing institusi yang
akan menjalankannya. Disamping itu, apabila menilik berbagai code
of conduct ataupun best
practice dari berbagai institusi di
berbagai negara, maka kelima prinsip dasar tersebut hampir selalu
dapat ditemukan karena sifatnya yang universal. Namun demikian, perlu
diperhatikan pula bahwa kelima prinsip ini sifatnya evolutionary
in nature, artinya berkembang sesuai
kebutuhan dan dinamika masyarakat yang menerapkan dan menegakkannya.
Juga, praktik good governance di
berbagai institusi di beberapa negara mengajarkan bahwa good
governance is about time as well,
artinya penerapan dan penegakan good
governance tidak
semudah membalikkan telapak tangan, melainkan akan terkait erat
dengan waktu, mengingat perubahan yang akan dilakukan adalah tidak
sedikit dan tidak sederhana, terutama pada aspel mental dan budaya
masyarakat yang akan menerapkan dan menegakkan good
governance.
1.
Public Governance
Perspektif sektor publik terhadap good
governance menempatkan proses
pencapaian tujuan bersama dalam bernegara yang melibatkan pemerintah,
dunia usaha, dan masyarakat melalui sistem administrasi negara.1
Untuk dapat tercapainya tujuan tersebut, maka tentunya masing-masing
institusi/lembaga negara harus secara serempak menerapkan dan
menegakkan good governance.
Hal ini dapat efektif dicapai melalui administrasi publik/birokrasi
yang mampu dalam menjalankan peran, tugas dan fungsinya secara
sungguh-sungguh, penuh rasa tanggungjawab, yang dilaksanakan secara
efektif, efisien, bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme, untuk
meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran seluruh masyarakat dan
warga negara. Seperti halnya pada sektor privat, maka penerapan dan
penegakan prinsip-prinsip good
governance pada sektor publik
menjadi prasyarat mutlak pula dalam mewujudkan good
governance atau clean
government. Prinsip-prinsip good
governance pada dasarnya mengandung
nilai yang bersifat obyektif dan universal yang menjadi acuan dalam
menentukan tolak
ukur atau indicator dan ciri-ciri/karekteristik penyelenggaraan
pemerintahan negara yang baik. Prinsip-prinsip
good governance dalam
praktek penyelenggaraan Negara dituangkan dalam (tujuh) asas-asas
umum penyelenggaraan negara sebagaimana dimaksud dalam UU Nomor 28
Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas
Korupsi Kolusi dan Nepotisme. Adapun prinsip atau asas umum dalam
penyelenggaraan Negara meliputi :
1.
Asas Kepastian Hukum adalah
asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan
perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap kebijakan
Penyelenggara Negara.
2.
Asas Tertib Penyelenggaraan Negara
adalah asas yang menjadi
landasan keteraturan, keserasian, dan keseimbangan, dalam
pengendalian Penyelenggara Negara.
3.
Asas Kepentingan Umum adalah
asas yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif,
akomodatif, dan selektif.
4.
Asas Keterbukaan adalah
asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh
informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif, tentang
penyelenggaraan negara dengan tetap memperhatikan perlindungan atas
hak asasi pribadi, golongan, dan rahasia negara.Ini
tertuang juga dalam undang-undang yang baru yakni Undang-Undang no 14
Tahun 2008 Tentang keterbukaan informasi publik.
5.
Asas Proporsionalitas adalah
asas yang mengutamakan keseimbangan antara hak dan kewajiban
Penyelenggara Negara.
6.
Asas Profesionalitas adalah
asas yang mengutamakan keahlian yang berlandaskan kode etik dan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
7.
Asas Akuntabilitas adalah
asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari
kegiatan Penyelenggara Negara harus dapat dipertanggung
jawabkan kepada masyarakat atau
rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Good
governance pada sektor publik di
Indonesia diamanatkan kepada tiga bagian yaitu:
- Eksekutif;
- Yudikatif; dan
- Legislatif.
Tulisan ini difokuskan pada pembahasan good
governance yang diamanatkan kepada
legislatif yang diemban oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
Dalam menjalankan perannya sebagai wakil rakyat, DPRD melakukan tiga
fungsi utama, yaitu:
- Fungsi legislasi;
- Fungsi penganggaran; dan
- Fungsi pengawasan.
Ketiga fungsi tersebut harus dijalankan dengan
baik/tepat/pantas, sebagaimana diinspirasikan dari analogi seaworthy
pada kapal Titanic sebelumnya.
Penerapan dan penegakan tersebut bertumpuh
pada asas fiduciary duty:
yaitu bahwa pengangkatan setiap anggota DPR/DPRD didasarkan pada asas
kepercayaan (dari rakyat) bahwa setiap anggota yang diangkat akan
menjalankan fungsi dan perannya dengan menjunjung tinggi duties
sbb:
- duty of skill and care;
- duty to act in bona fide;j
- duty of good faith;
- duty of loyalty;
- duty of honesty.
Singkatnya,
bahwa para wakil rakyat tersebut diyakini oleh rakyat yang memilihnya
memiliki kemampuan yang baik untuk perform
peran, tugas, dan kewenangan yang
diamanatkan. Dalam mengemban amanah tersebut, diyakini rakyat bahwa
para wakil tersebut memiliki kemampuan/kompetensi dan integritas
tinggi, akan menjalankan tugasnya dengan profesional dan komitmen
penuh, serta selalu menjunjung niat baik, kesetiaan, dan kejujuran.
Fungsi Legislasi, Fungsi legislasi merupakan suatu proses untuk
mengakomodasi berbagai kepentingan para pihak (stakeholders),
untuk menetapkan bagaimana pembangunan di daerah akan dilaksanakan.
Fungsi legislasi bermakna penting dalam beberapa hal berikut:
- Menentukan arah pembangunan dan pemerintahan di daerah;
- Dasar perumusan kebijakan publik di daerah;
- Sebagai kontrak sosial di daerah;
- Pendukung Pembentukan Perangkat Daerah dan Susunan Organisasi Perangkat Daerah
Disamping itu, dalam menjalankan fungsi
legislasi ini DPRD berperan pula sebagai policy
maker, dan bukan policy
implementer di daerah. Artinya,
antara DPRD sebagai pejabat publik dengan masyarakat sebagai
stakeholders, ada kontrak sosial yang dilandasi dengan fiduciary
duty. Dengan demikian, fiduciary
duty ini harus dijunjung tinggi
dalam setiap proses fungsi legislasi.Dalam praktik dan realita saat
ini, proyeksi good public governance
pada fungsi legislasi saat ini masih
membutuhkan banyak penataan dan transformasi ke arah yang lebih baik.
Peningkatan performa tersebut dapat dilakukan antara lain dengan:
- Peningkatan pemahaman tentang perencanaan dalam fungsi legislasi;
- Optimalisasi anggota DPRD dalam mengakomodasi aspirasi stakeholders;
- Ditumbuhkannya inisiatif DPRD dalam penyusunan RAPERDA;
- Ditingkatkannya kemmapuan analisis (kebijakan publik & hukum) dalam proses penyusunan RAPERDA;
- Pemahaman yang lebih baik atas fungsi perwakilan dalam fungsi legislasi; dll. Fungsi Penganggaran Fungsi penganggaran merupakan penyusunan dan penetapan anggaran pendapatandan belanja daerah bersama-sama pemerintah daerah. Dalam menjalankan fungsi ini,DPRD harus terlibat secara aktif, proaktif, dan bukan reaktif & sebagai legitimator usulan.APBD ajuan pemerintah daerah;Fungsi penganggaran ini perlu memperoleh perhatian penuh, mengingat makna pentingnya sebagai berikut:
- APBD sebagai fungsi kebijakan fiskal (fungsi alokasi, fungsi distribusi, & fungsi stabilisasi);
- APBD sebagai fungsi investasi daerah;
- APBD sebagai fungsi manajemen pemerintahan daerah (fungsi perencanaan, fungsi otorisasi, fungsi pengawasan). Dalam konteks good governance, maka peran serta DPRD harus diwujudkan dalam tiap proses penyusunan APBD dengan menjunjung fiduciary duty. Prinsip-prinsip universal good governance dalam konteks GCG, yaitu TARIF/RAFIT principles, sangat tepat apabila dapat diterapkan secara nyata dalam menjalankan fungsi penganggaran ini. 1
Adapun good
public governance pada fungsi
penganggaran saat ini dapat lebih berperan secara konkrit apabila
memperoleh perhatian dan kecermatan dalam beberapahal berikut:
Penyusunan KUA (Kebijakan Umum APBD), antara lain:
- Efektifitas pembentukan jaring asmara;
- Eliminasi kepentingan individu, kelompok, dan golongan;
- Pembenahan penyusunan RPJMD dan Renstra-SKPD;
- Peningkatan kapasitas pemerintah daerah dan DPRD dalam merumuskan KUA
- Penyusunan PPAS, antara lain:
- Akuntabilitas terhadap nilai anggaran;
- Kelengkapan data-data pendukung;
- Peningkatan kapasitas anggota DPRD dan pemerintah daerah dalam menyusun prioritas urusan dan program;
- Kesesuaian antara prioritas program dengan kebutuhan rakyat Raperda APBD
- Sosialisasi Perda APBD
Fungsi
Pengawasan
Fungsi pengawasan merupakan salah satu fungsi
manajemen untuk menjamin pelaksanaan kegiatan sesuai dengan kebijakan
dan rencana yang telah ditetapkan serta memastikan tujuan dapat
tercapai secara efektif dan efisien. Fungsi ketiga ini bermakna
penting, baik bagi pemerintah daerah maupun pelaksana pengawasan.
Bagi pemerintah daerah, fungsi pengawasan merupakan suatu mekanisme
peringatan dini (early warning
system), untuk mengawal pelaksanaan
aktivitas mencapai tujuan dan sasaran. Sedangkan bagi pelaksana
pengawasan, fungsi pengawasan ini merupakan tugas mulia untuk
memberikan telaahan dan saran, berupa tindakan perbaikan. Disamping
itu, pengawasan memiliki tujuan utama, antara lain:
- Menjamin agar pemerintah daerah berjalan sesuai dengan rencana;
- Menjamin kemungkinan tindakan koreksi yang cepat dan tepat terhadap penyimpangan dan penyelewengan yang ditemukan;
- Menumbuhkan motivasi, perbaikan, pengurangan, peniadaan penyimpangan;
- Meyakinkan bahwa kinerja pemerintah daerah sedang atau telah mencapai tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan. Namun demikian, praktik good public governance pada fungsi pengawasan saat ini masih membutuhkan beberapa improvement agar dapat mencapai tujuannya tersebut. Fungsi pengawasan dapat diselaraskan dengan tujuannya, antara lain dengan melakukan beberapa hal berikut:
- Memaknai secara benar fungsi dan tujuan pengawasan, sehingga dapat menjadi mekanisme check & balance yang efektif;
- Optimalisasi pengawasan agar dapat memberikan kontribusi yang diharapkan pada pengelolaan pemerintahan daerah;
- Penyusunan agenda pengawasan DPRD;
- Perumusan standar, sistem, dan prosedur baku pengawasan DPRD;
- Dibuatnya mekanisme yang efisien untuk partisipasi masyarakat dalam proses pengawasan, dan saluran penyampaian informasi masyarakat dapat berfungsi efektif sebagai salah satu alat pengawasan. Disadari pula bahwa untuk dapat mengadakan perbaikan, penataan, reformasi, atau transformasi dari existing performance ke future performance DPRD dibutuhkan strategi yang tepat. Lembaga Administrasi Negara dalam kertas kerjanya mengajukan beberapa strategi yang diharapkan dapat diterapkan secara efektif pada sektor publik, yaitu sebagai berikut:
1.
Pemberantasan KKN. Sebagai
prasyarat penerapan good governance
adalah adanya pemerintah yang bersih
(clean government). Untuk
mewujudkan clean
government perlu
adanya komitmen dari seluruh komponen bangsa dalam upaya
pemberantasan KKN. Namun upaya Pemberantasan KKN tidak cukup
dilakukan hanya dengan komitmen semata, diperlukan pula upaya nyata
yang sungguhsungguh baik dalam pencegahan, penanggulangan, dan
pemberantasannya. Komitmen harus diwujudkan dalam bentuk strategi
yang komprehensif yang mencakup aspek preventif (mencegah terjadinya
korupsi dengan menghilangkan/meminimalkan faktor-faktor penyebab atau
peluang korupsi), detektif (mengidentifikasi terjadinya perbuatan
korupsi), dan represif (menangani atau memproses perbuatan korupsi
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku) yang
dilaksanakan secara intensif dan berkelanjutan.
2.
Reformasi
birokrasi/administrasi publik.
Pemerintah merupakan unsur yang
paling berperan dalam penyelenggaraan negara. Pemerintah dari tingkat
pusat, propinsi maupun kabupaten/kota melakukan fungsi-fungsi
pengaturan dan pemberian pelayanan. Upaya mewujudkan good
governance perlu dilakukan terlebih
dahulu dengan menempatkan pemerintah dalam fungsi yang sebenarnya
melalui reformasi birokrasi sehingga akan terwujud clean
government yang menjadi prasyarat
utama untuk mewujudkan good
governance. Reformasi birokrasi
dapat dilakukan antara lain melalui upaya managerial efficiency
and effectiveness dalam penggunaan
sumber-sumber daya, kemitraan dengan sektor swasta dalam penyediaan
pelayanan, desentralisasi, dan penggunaan teknologi informasi.
3.
Penyempurnaan berbagai
peraturan perundang-undangan.
Salah satu fungsi DPRD yaitu fungsi legislasi
adalah meyusun peraturan perundang-undangan yang mengatur kehidupan
masyarakat dan negara. Namun demikian, tidak serta merta seluruh
kehidupan masyarakat diatur melalui peraturan perundang-undangan.
Peraturan hanya dibuat jika perlu intervensi pemerintah untuk
mengatur. Penyusunan peraturan yang efisien akan berdampak pada
efektivitas dalam hal penegakan hukumnya.
4.
Kejelasan fungsi dan peran
setiap instansi pemerintah.
Kejelasan fungsi dan peran yang dijalankan oleh
setiap instansi pemerintah dalam penyelenggaraan negara. Hal tersebut
diwujudkan dalam hubungan antar instansi pemerintah, antara instansi
pemerintah dengan legislatif, antara instansi pemerintah dengan
masyarakat (publik), dengannya akan menghindari terjadinya tumpang
tindih peran yang dilaksanakan.
5.
Peningkatan kapasitas dan
kapabilitas.
The right man on the right place menjadi
pertimbangan utama dalam menempatkan orang-orang yang tepat pada
setiap posisi manajerial dan fungsional untuk menjamin DPRD berfungsi
efektif dan dapat menghasilkan kinerja yang optimal. Pengembangan
sumber daya manusia sesuai dengan kebutuhan peningkatan kinerja
organisasi. Hal ini perlu diikuti pula dengan evaluasi kinerja.
Tentunya agar dapat berjalan dengan baik sesuai rencana dan harapan,
maka harus dimulai sejak pemilihan calon anggota dewan.
6.
Peningkatan akuntabilitas.
Setiap instansi pemerintah dituntut untuk
mempertanggungjawabkan setiap amanah yang diberikannya termasuk
penggunaan anggaran yang dipercayakan kepadanya. Untuk dapat
melakukan tugas yang akuntabel tentunya perlu disusun terlebih dahulu
rencana strategis dan rencana operasional tahunan, mengembangkan
pola-pola pelaksanaan, pengawasan pengendalian, serta evaluasi dan
pelaporan pelaksanaan tugas-tugas yang transparan.
7.
Transparan dalam pengambilan
keputusan.
Transparan tentang bagaimana keputusan diambil.
Keputusan diambil dengan mempertimbangkan informasi yang berkualitas,
saran stakeholders, nara
sumber/ahli serta mempertimbangkan berbagai dampak yang mungkin
ditimbulkan. Agar setiap keputusan yang telah diambil dapat
dipertanggungjawabkan secara proses, maka perlu dilakukan
dokumentasidokumentasi tertentu berkaitan dengan proses tersebut,
sehingga setiap kesalahankesalahan atau penyimpangan-penyimpangan
dalam pengambilan keputusan dapat dideteksi dari hasil dokumentasi
tersebut. Dokumentasi ini memiliki arti penting dalam upaya secara
terus menerus memperbaiki sistem manajemen pemerintahan dalam rangka
menciptakan pemerintahan yang bersih.
8.
Penerapan nilai budaya kerja
dalam praktek penyelengaraan negara.
Pengembangan nilai budaya kerja dengan
mengadopsi nilai-nilai moral dan etika yang dianggap baik dan
positif, yang meliputi nilai sosial budaya yang positif yang relevan,
norma atau kaidah, etika dan nilai kinerja yang produktif yang
bersumber dari agama, falsafah, tradisi, dan metode kerja modern
sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Nilai
tersebut dipedomani dalam upaya meningkatkan produktivitas dan
kinerja dalam penyelenggaraan pemerintahan negara.
9.
Pemanfaatan Teknologi
Informasi
Pemanfaatan
teknologi informasi dalam setiap proses penyelenggaraan pemerintahan
akan mendorong: (a) transparansi, aksesibilitas informasi, dan
akuntabilitas; (b) pengambilan keputusan yang didukung dengan
informasi yang akurat; (c) partisipasi publik; dan (d) meningkatkan
kualitas pelayanan.
10.
Code of Conducts.
Upaya lain yang dilakukan untuk mewujudkan good
governance adalah dengan menerapkan
code of conducts bagi
para pejabat publik. Code of conducts
merupakan prinsip-prinsip yang harus
ditaati oleh setiap pejabat public
secara individual baik dalam tingkah
laku ketika mereka berhubungan dengan
publik dan pihak legislatif, maupun
dalam pelaksanaan tugas sehari-hari sehingga
terhindar dari praktek diskriminasi
dan pelecehan, praktek pengelolaan informasi
yang dapat disampaikan kepada publik
dan yang harus dirahasiakan, praktek
penggunaan fasilitas-fasilitas yang
diberikan dalam pelaksanaan tugas pemerintahan
untuk kepentingan pribadi,
keterlibatan dalam organisasi politik, praktek
penggunaan pengaruh untuk
kepentingan pribadi, keterlibatan dengan pekerjaan di
luar kantor pada jam kerja, praktek
KKN, dan larangan menerima berbagai
pemberian dari pihak lain yang
memiliki kaitan dengan pelaksanaan tugas.
Penyusunan strategi dibutuhkan untuk
menentukan arah perubahan yang akan
dilakukan. Namun demikian, strategi
juga akan menjadi sekedar penyusunan kertas kerja
saja apabila tidak disertai
kebulatan tekad dan semangat untuk benar-benar menerapkan
dan menegakkannya. Setiap
pengangkatan anggota dewan tidak bersifat “gratis”, tetapi
kelak di ujung masa jabatannya akan
dimintai pertanggungjawaban atau akuntabilitasnya.
Pada dasarnya akuntabilitas
merupakan salah satu bentuk konsekwensi dari penerimaan
suatu tugas. Pertanggungjawaban ini
harus disampaikan kepada pihak yang telah
mengangkat/menunjukya untuk
melakukan tugas tersebut, dalam hal ini adalah rakyat.DPRD harus
dapat menjelaskan setiap langkah strategis yang sudah dicanangkan
disertai penjelasan atas pencapaian atau realisasinya.
Hambatan
dalam pelaksanaan good governance
antara lain :
1.
Belum adanya sistem akuntansi pemerintahan daerah yang baik yang
dapat mendukung pelaksanaan pencatatan dan pelaporan secara handal.
2.
Sangat terbatasnya jumlah personil pemerintah daerah yang berlatar
belakang pendidikan Akuntansi, sehingga mereka tidak begitu peduli
dengan permasalahan ini.
3.
Belum adanya standar akuntansi keuangan sektor publik yang baku.
Penguatan fungsi pengawasan dapat dilakukan melalui optimalisasi
peran DPRD sebagai kekuatan penyeimbang (balance
of power) bagi eksekutif daerah dan
partisipasi masyarakat secara langsung maupun tidak langsung melalui
LSM dan organisasi social kemasyarakatan di daerah (social
control). Berdasarkan hal di atas
maka penulis member judul “ Peran Dan Fungsi Lembaga DPRD Kota
Makassar dalam pencapaiam Goodgovernace “
B.
Prinsip Goodgovernace.
Prinsip-prinsip tata pemerintahan yang baik (good
governance) yang harus dikembangkan dalam Implementasi kebijakan
secara umum adalah: Responsif, tanggap terhadap kebutuhan orang dan
stakeholders. Participatory, orang yang terkena dampak suatu
kebijakan harus dilibatkan dalam proses pembuatan kebijakan tersebut.
Transparant; adanya informasi yang luas atas suatu program;
Equitable; adanya akses yang sarna bagi setiap orang terhadap
kesempatandan aset. Accountable; pengambilan keputusan oleh
pemerintah, sektor swasta danmasyarakat harus dapat dipertanggung
jawabkan kepada masyarakat umum dan seluruh stakeholders; Consensus
Oriented, perbedaan kepentingan dimusyawarahkan untuk mencipakan
kepentingan orang banyak.. Prinsip
spirit Governance adalah ingin menjamin hak - hak demokrasi ada di
tangan rakyat. Tiga
sektor dalam good governance yaitu sektor pemerintahan, sektor
privat, dan masyarakat seharusnya
mempunyai pembagian yang hak dan tanggungjawab bersama dan jelas yang
diatur dalam
kontrak sosial, mana kontrak sosial tersebut merupakan hasil produk
pengaturan bersama yang
melibatkan ketiga sektor tersebut.sistem ini dapat memberi implikasi
yuridis apabila lembaga
- lembaga tersebut melalaikan fungsinya dalam mewujudkan transparansi
informasi informasi
dan akuntabilitas public.
C.Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Dewan Perwakilan Rakyat atau
lembaga perwakilan rakyat yang disebut Lembaga Legislative adalah
lembaga yang menjadi mitra pemerintah sekaligus pengawas kinerja dari
pemerintah, Dewan Perwakilan rakyat juga berkedudukan di Ibu kota
Repoblik Indonesia Sebagai Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang berkedudukan di
profinsi Disebut DPRD PROFINSI,Dan Dewan Perwakilan rakyat daerah
yang berkedudukan di kabupaten / Kota yang disebut DPRD Kota / DPRD
Kabupaten ..
Lembaga
Dewan perwakilan rakyat daerah juga disebut lembaga pemerintah daerah
yang memiliki Fungsi Legislasi,Anggaran dan juga pengawasan, Tentunya
kita ketahui bahwa peran dan fungsi lembaga perwakilan rakyat baik di
ibukota maupun didaerah sangat memiliki peran yang sangat penting
dalam tatanan pemerintahan guna mewujudkan Godgovernace,hadirnya
lembaga legislative dengan wajah yang baru di era Reformasi saat ini
sangat menjanjikan guna peningkatan kesejahtraan masyarakat yang
tentunya menjadi harapan kita bersama, Anggota Dewan perwakilan
rakyat yang dipilih secara langsung tentunya menjadi penyambung lidah
antara masyarakat dan pemerintah guna mengetahui apa-apa
saja yang menjadi keluhan rakyat yang di pimpin oleh pemerintah.
Dari ketiga fungsi lembaga
legislative yang telah dipaparkan diatas menjadi sangat penrting
ketika anggota dewan perwakilan rakyat mampu menjalankan fungsinya
dengan optimal,
D.
Peran dan Fungsi DPRD
Penyelenggaraan pemerintahan dalam suatu negara
tidak hanya terdapat di pusat pemerintahan saja. Pemerintahan pusat
memberikan wewenangnya kepada pemerintah daerah untuk
menyelenggarakan pemerintahannya sendiri, dan di Indonesia yang
dimaksud dengan pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan urusan
pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan
tugas pembantuan dengan prinsip otonomi yang seluas-luasnya dalam
sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945.
Sedangkan dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah, dilaksanakan
dengan asas Desentralisasi, yaitu penyerahan wewenang pemerintahan
oleh Pemerintah kepada daerah otonomi untuk mengatur dan mengurus
urusan pemerintahan dalam system Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Di samping itu juga melaksanakan Dekonsentrasi, yaitu pelimpahan
wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil
pemerintah dan / atau kepada instansi vertikal, dan serta
melaksanakan Tugas Pembantuan, yaitu penugasan dari pemerintahan
kepada daerah dan/atau desa dari pemerintahan propinsi kepada
kabupaten/kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu. Dalam
menyelenggarakan pemerintahan di daerah, diperlukan
perangkatperangkat dan lembaga-lembaga untuk menyelenggarakan
jalannya pemerintahan di daerah sehari-hari. Sebagaimana hanya di
pusat negara, perangkat-perangkat dan lembaga-lembaga daerah biasanya
merupakan refleks dari sistem yang ada di pusat negara. Untuk
memenuhi fungsi perwakilan dalam menjalankan kekuasaan legislaif
daerah sebagaimana di pusat negara di daerah dibentuk pula Lembaga
Perwakilan Rakyat, dan lembaga ini biasa dikenal atau dinamakan Dewan
Perwakilan Rakyat
Daerah.
Dewan Perwakilan Daerah adalah lembaga perwakilan rakyat daerah
sebagai unsur penyelenggaraan pemerintahan daerah. Secara umum peran
ini diwujudkan dalam tiga fungsi, yaitu: 1. Regulator.
Mengatur seluruh kepentingan daerah,
baik yang termasuk urusanurusan rumah tangga daerah (otonomi) maupun
urusan-urusan pemerintah pusat yang diserahkan pelaksanannya ke
daerah (tugas pembantuan); 2. Policy
Making. Merumuskan kebijakan
pembangunan dan perencanaan programprogram pembangunan di daerahnya;
3. Budgeting.
Perencanaan angaran daerah (APBD) Dalam perannya sebagai badan
perwakilan, DPRD menempatkan diri selaku kekuasaan penyeimbang
(balanced power) yang
mengimbangi dan melakukan control efektif terhadap Kepala Daerah dan
seluruh jajaran pemerintah daerah. Peran ini diwujudkan dalam
fungsi-fungsi berikut: 1. Representation.
Mengartikulasikan keprihatinan,
tuntutan, harapan dan melindungi kepentingan rakyat ketika kebijakan
dibuat, sehingga DPRD senantiasa berbicara “atas nama rakyat”; 2.
Advokasi. Anggregasi
aspirasi yang komprehensif dan memperjuangkannya melalui negosiasi
kompleks dan sering alot, serta tawar-menawar politik yang sangat
kuat. Hal ini wajar mengingat aspirasi masyarakat mengandung banyak
kepentingan atau tuntutan yang terkadang berbenturan satu sama lain.
Tawar menawar politik dimaksudkan untuk mencapai titik temu dari
berbagai kepentingan tersebut.
3.
Administrative oversight. Menilai
atau menguji dan bila perlu berusaha mengubah tindakan-tindakan dari
badan eksekutif. Berdasarkan fungsi ini adalah tidak dibenarkan
apabila DPRD bersikap “lepas tangan” terhadap kebijakan
pemerintah daerah yang bermasalah atau dipersoalkan oleh masyarakat.
Apalagi dengan kalimat naif, “Itu bukan wewenang kami”, seperti
yang kerap terjadi dalam praktek. Dalam kasus seperti ini, DPRD dapat
memanggil dan meminta keterangan, melakukan angket dan interpelasi,
bahkan pada akhirnya dapat meminta pertanggung jawaban Kepala Daerah.
Lebih khusus berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku
(UU Susduk dan UU Pemerintahan Daerah), implementasi kedua peran DPRD
tersebut lebih disederhanakan perwujudannya ke dalam tiga fungsi,
yaitu :
- Fungsi legislasi
- Fungsi anggaran; dan
- Fungsi pengawasan
Pelaksanaan ketiga fungsi tersebut secara ideal
diharapkan dapat melahirkan output, sebagai berikut:
1.
PERDA-PERDA yang aspiratif dan responsif. Dalam arti PERDA-PERDA yang
dibuat telah mengakomodasi tuntutan, kebutuhan dan harapan rakyat.
Hal itu tidak mungkin terwujud apabila mekanisme penyusunan Peraturan
Daerah bersifat ekslusif dan tertutup. Untuk itu mekanisme penyusunan
PERDA yang dituangkan dalam Peraturan Tata Tertib DPRD harus dibuat
sedemikian rupa agar mampu menampung aspirasi rakyat secara optimal.
2.
Anggaran belanja daerah (APBD) yang efektif dan efisien, serta
terdapat kesesuaian yang logis antara kondisi kemampuan keuangan
daerah dengan keluaran (output) kinerja pelayanan masyarakat
3.
terdapatnya suasana pemerintahan daerah yang transparan dan
akuntabilitas, baik dalam proses pemerintahan maupun dalam
penganggaran. Untuk melaksanaan ketiga fungsi yang ideal tersebut,
DPRD dilengkapi dengan modal dasar yang cukup besar dan kuat, yaitu
tugas dan wewenang, alat-alat kelengkapan DPRD, Hak-hak DPRD/anggota,
dan anggaran DPRD yang mandiri.
BAB III
METODE PENELITIAN
- Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan di kantor Bupati dan
DPRD. Kota Makassar
tempat ini sebagai sumber informasi.karena
pelaksanaan goodgovernace tentunya dilaksanakan oleh pemerintah Kota
Makassar baik itu Eksekutif maupun Lembaga Legislative ( DPRD ) Kota
Makassar
- Populasi dan Sampel
Dalam penelitian ini, yang menjadi populasi adalah
semua unsur pemerintah Di Kota Makassar
. Baik itu pemerintah dalam hal ini
Lembaga Eksekutive ( Wali Kota
) maupun lembaga legislative ( DPRD ).serta masyarakat sebagai objek
penelitian kami yang kami anggap sebagai orang yang mampu memberikan
predikat terhadap kinerja dari anggota legislative dalam mewujudkan
tata pemerintahan yang baik /Goodgovernace.
- Jenis dan Sumber Data
Data yang akan dikumpulkan pada penelitian ini
terdiri atas data primer dan data sekunder.
Data primer berupa data yang diperoleh langsung dari responden yang
berasal dari anggota
Dewan Perwakilan Rakyat kota
Makassar,Pemerintah kota Makassar,tokoh masyarakat,pemuda,agama dan
data pendukung yang diperoleh dari buku-buku hasil penelusuran studi
kepustakaan.
- Teknik Pengumpulan Data
Untuk memperoleh data yang dibutuhkan digunakan beberapa teknik
pengumpulan data yaitu sebagai berikut:
- Studi pustaka (Library Research)
Penelitian ini dilakukan dengan telaah pustaka,
dengan cara data-data dikumpulkan dengan membaca buku-buku,
literatur-literatur, ataupun perundang-undangan yang berhubungan
dengan masalah yang akan dibahas.selain itu, data-data juga
dikumpulkan dari kantor Walikota dan DPRD
Kota Makassar yang kemudian didokumentasikan.
- Studi Lapangan (Field Research)
Penelitian lapangan ini bertujuan untuk memporoleh
data langsung studi lapangan ini dapat di tempuh dengan cara sebagai
berikut:
- wawancara
cara memperoleh data dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan langsung
kepada narasumber.
- kuisioner/angket
cara memperoleh data dengan memberikan
pertanyaan-pertanyaan tertulis kepada responden dalam bentuk angket
- Observasi
Dilakukan kunjungan dan pengamatan langsung pada lokasi penelitian
- Teknik Analisis Data
Seluruh data yang diperoleh baik data primer
maupun data sekunder selanjutnya dianalisis
secara kualitatif dan disajikan secara deskripsi yaitu dengan
menjelaskan, memaparkan dan menggambarkan permasalahan yang timbul
dalam pencapaian Pemerintahan yang baik
yang dilaksanakn oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kab.Morowali
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
- Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Profil singkat Kota Makassar
Wisatawan Manca Negara mengenal Kota Makassar
lewat Benteng Ujung Pandangnya atau yang terkenal dengan nama benteng
Fort Rotterdam. Benteng Ujungpandang merupakan peninggalan sejarah
keperkasaan kerajaan masa lalu di Sulawesi Selatan. Kerajaan yang
sangat kuat dan berjaya sekitar abad ke – 17 adalah Kerajaan Gowa,
dengan ibu kota Makassar. Benteng Ujung Pandang di bangun pada
tahun1545 semasa pemerintahan Imanrigau Daeng Bonto Karaeng Lakiung,
juga terkenal dengan nama Karaeng Tunipallangga Ulaweng. Pada tahun
1667 ketika kekuatan Gowa dikalahkan oleh Belanda semua perbentengan
dimusnahkan, kecuali Benteng Somba Opu. Ketika itu Kerajaan Gowa
memiliki 17 benteng. Dua tahun kemudian sesudah perjanjian Bongaya,
Benteng Somba Opu kemudian dimusnahkan secara total oleh Belanda.
Namun kemudian dibangun kembali oleh Belanda dan diberi nama Fort
Rotterdam.
Kini Kota Makassar kembali menjadi Ibu Kota
Propinsi Sulawesi Selatan, setelah sebelumnya pernah bernama
Kotamadya Ujung Pandang. Kota Makassar terkenal pula sebagai kota
“Angin Mamiri” berarti kota dengan hembusan angin sepoi-sepoi
basah, Kota ini juga terkenal dengan “Pantai Losarinya” yang
indah atau dikenal dengan restoran terpanjang karena pengunjung yang
dapat menikmati hidangan lezat sambil menikmati hembusan angin laut
yang menyegarkan dan menyaksikan terbenamnya matahari serta keindahan
panorama laut. Kota makassar bersuhu 22 – 33o C, dengan luas
wilayah 175,77 Km2 dan terus berkembang khususnya ke arah Timur
dimana pembangunan infrastruktur seperti perluasan Pelabuhan Laut
makasar, bandara Hasanuddin, jalan tol, Kawasan Industri Makassar dan
berbagai proyeklainnya tengah dilaksanakan.
Iklim
Berdasarkan pencatatan Stasiun meteorologi
Maritim Paotere, secara rata-rata kelembaban udara 81-91 persen,
curah hujan 2729 mm, hari hujan 144 hari temp- eratur udara sekitar
26,7°-28,6°C, dan rata-rata kecepatan angin 4 knot.
Letak geografis
Secara geografis Kota Makassar terletak pada
koordinat antara 5o 30’ 18 sampai 5o 14’ 49” Lintang Selatan
dan 119o 18’ 97” sampai 119o 32’ 3” Bujur Timur.
Batas-batas Wilayah
Sebelah Utara : Kabupaten Pangkep
Sebelah Selatan : Kabupaten Gowa
Sebelah Timur : Kabupaten Maros
Sebelah Barat : Selat Makassar Kota
Makassar mempunyai 14 Kecamatan, 1438 Kelurahan dengan nama-nama
kecamatan
1. Kecamatan Biringkanaya;
2. Kecamatan Bontoala;
3. Kecamatan Makassar;
4. Kecamatan Mamajang;
5. Kecamatan Manggala ;
6. Kecamatan Mariso;
7. Kecamatan Panakukkang;
8. Kecamatan Rappocini;
9. Kecamatan Tallo;
10. Kecamatan Tamalate;
11. Kecamatan Tamalanrea;
12. Kecamatan Ujung Pandang;
13. Kecamatan Ujung Tanah;
14. Kecamatan Wajo.
Penduduk Kota Makassar tahun 2005 tercatat
sebanyak 1.193.434 jiwa yang terdiri dari 582.572 jiwa laki-laki atau
49,37% dan 610.862 jiwa perempuan atau 51,36% dari total penduduk
Makassar dengan laju pertumbuhan rentang tahun 2002 sampai tahun 2005
sebesar 1,53%.
- Peran Dan Fungsi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah ( DPRD Kota Makassar )
1. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Adalah sebuah Lembaga Perwakilan Rakyat di
daerah kota
yang terdiri atas anggota partai
politik peserta pemilihan
umum (Pemilu) yang dipilih berdasarkan hasil pemilihan umum.
DPRD Kota juga berkedudukan sebagai Lembaga
Pemerintahan Daerah Kota yang memiliki fungsi
legislasi, anggaran dan pengawasan.
DPRD Kota berada di setiap kota di Indonesia.
Anggota DPRD Kota berjumlah 20-450 orang. Masa jabatan anggota DPRD
adalah 5 tahun, dan berakhir bersamaan pada saat anggota DPRD yang
baru mengucapkan sumpah/janji.
DPRD Kota merupakan mitra kerja walikota
(eksekutif). Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah, Walikota tidak lagi bertanggung jawab
kepada DPRD Kota, karena dipilih langsung oleh rakyat melalui
Pilkada.
2.Tugas, Wewenang, dan Hak Angota DPRD.
Tugas dan wewenang DPRD Kota adalah:
- Membentuk Peraturan Daerah Kota yang dibahas dengan Walikota untuk mendapat persetujuan bersama.
- Menetapkan APBD Kota bersama dengan Walikota.
- Melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan Peraturan Daerah Kota dan Peraturan Perundang-undangan lainnya, Keputusan Walikota, APBD Kota, kebijakan Pemerintah Daerah dalam melaksanakan program pembangunan daerah, dan kerjasama internasional di daerah.
- Mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian Walikota/Wakil Walikota kepada Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur.
- Memberikan pendapat dan pertimbangan kepada Pemerintah Daerah Kota terhadap rencana perjanjian internasional yang menyangkut kepentingan daerah.
- Meminta Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) Kota dalam pelaksanaan tugas desentralisasi.
Anggota DPRD memiliki hak interpelasi, hak
angket, dan hak menyatakan pendapat. Anggota DPRD Kota juga memiliki
hak mengajukan Rancangan Perda Kota, mengajukan pertanyaan,
menyampaikan usul dan pendapat, membela diri, hak imunitas, serta hak
protokoler.
Menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003
tentang Susduk MPR, DPR, DPD, dan DPRD, dalam melaksanakan tugas dan
wewenangnya, DPRD Kota berhak meminta pejabat negara tingkat Kota,
pejabat pemerintah daerah, badan hukum, atau warga masyarakat untuk
memberikan keterangan. Jika permintaan ini tidak dipatuhi, maka dapat
dikenakan panggilan paksa (sesuai dengan peraturan
perundang-undangan). Jika panggilan paksa ini tidak dipenuhi tanpa
alasan yang sah, yang bersangkutan dapat disandera paling lama 15
hari (sesuai dengan peraturan perundang-undangan).
3.Alat kelengkapan dan Sekretariat DPRD
Alat kelengkapan DPRD Kota terdiri atas:
Pimpinan, Komisi, Panitia Musyawarah, Badan Kehormatan, Panitia
Anggaran, dan alat kelengkapan lain yang diperlukan.
Untuk mendukung kelancaran pelaksanaan tugas
DPRD, dibentuk Sekretariat DPRD Kota yang personelnya terdiri atas
Pegawai
Negeri Sipil. Sekretariat DPRD dipimpin seorang Sekretaris DPRD
yang diangkat oleh Walikota atas usul Pimpinan DPRD Kota.
Untuk meningkatkan kinerja lembaga dan membantu
pelaksanaan fungsi dan tugas DPRD secara profesional, dapat diangkat
sejumlah pakar/ahli sesuai dengan kebutuhan. Para pakar/ahli tersebut
berada di bawah koordinasi Sekretariat DPRD Kota.
4.Kekebalan Hukum
Anggota DPRD Kota tidak dapat dituntut di
hadapan pengadilan karena pernyataan, pertanyaan/pendapat yang
dikemukakan secara lisan ataupun tertulis dalam rapat-rapat DPRD,
sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Tata Tertib dan kode
etik masing-masing lembaga. Ketentuan tersebut tidak berlaku jika
anggota yang bersangkutan mengumumkan materi yang telah disepakati
dalam rapat tertutup untuk dirahasiakan atau hal-hal mengenai
pengumuman rahasia negara.
5.Penyidikan
Jika anggota DPRD Kota diduga melakukan
perbuatan pidana, pemanggilan, permintaan keterangan, dan
penyidikannya harus mendapat persetujuan tertulis dari Gubernur atas
nama Menteri Dalam Negeri. Ketentuan ini tidak berlaku apabila
anggota DPRD melakukan tindak pidana korupsi dan terorisme serta
tertangkap tangan.
Tabel 2
Data
Kemajuan Peran dan Fungsi lembaga
dewan perwakilan rakyat Daerah
- No.KeteranganJumlahPersentase1.2.YaTidak312753,45%46,55%Total58100%
Sumber:
Hasil Penyebaran Kuisioner 2010
Tabel 3
Data Kepemilikan Sertifikat Setelah Bencana Banjir
Masyarakat
Desa Bialo Kecamatan Gantarang Kabupaten Bulukumba
- No.KeteranganJumlahPersentase1.2.YaTidak233539,65%60,35%Total58100%
Sumber: Hasil Penyebaran
Kuisioner 2010
Tabel di atas menunjukkan bahwa sebelum bencana
banjir bandang melanda Kabupaten Bulukumba,
masih ada masyarakat yang belum memiliki sertifikat. Ada sebanyak 27
orang (46,55%) yang memang belum pernah mendaftarkan tanahnya di
Kantor Pertanahan dan sebanyak 31 orang (53,45%) yang sudah memiliki
sertifikat. Setelah bencana banjir bandang, masyarakat yang memiliki
sertifikat tanah sebanyak 23 orang (39,65%). Jadi, ada sebanyak 8
orang yang sertifikatnya hilang/rusak setelah bencana banjir.
Tabel
4
Pendapat
Responden Tentang efektifitas Peran
dan Fungsi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Makassar dalam
mewujudkan pemerintahan yang baik.
- No.KeteranganJumlahPersentase1.2.3.Sangat EfektifEfektifTidak Efektif250292,59%0 %7,41%Total27100%
Sumber:
Hasil Penyebaran Kuisioner 2010
Tabel 5
Pendapat
Responden Tentang Tingkat kesuksesan
Dalam menjalankan Peran dan fungsi Dewan Perwakilan rakyat daerah
kota Makassar dalam menjalankan Fungsi,legislasi,anggaran dan
pengawasan terhadap pemerintah.
- No.KeteranganJumlahPersentase1.2.Hilang/RusakDari awal tidak ada82722,86%77,14%Total35100%
Sumber: Hasil Penyebaran
Kuisioner 2010
Tabel
6
Langganan:
Postingan (Atom)