Kamis, 17 Mei 2012

Proker Lembaga Fort Rotherdam Institute Sul-Sel-Indonesia

PROGRAM KERJA FORT ROTHERDAM INSTITUTE PERIODE 2011-2013

Berdasarkan Visi, Misi, Tujuan dan Sasaran Organisasi maka disusunlah program kerja lembaga dari kurun waktu tahun pertama 2012-2013 yang dilaksanakan di tingkat devisi maupun ditingkat lembaga secara umum dengan pendekatan kerja yaitu penelitian, pendidikan dan pelatihan, seminar, serta advokasi masyarakat dan kemitraan dengan instansi pemerintah dengan pembagian kinerja periodik maupun insidentil, yakni sebagai berikut :

  1. DEVISI BIDANG PEMUDA DAN PERGURUAN TINGGI
Penelitian dan pengkajian isu strategis dibidang pemuda dan perguruan tinggi, dengan pola kerja devisi berupa diskusi rutin maupun kegiatan lainya yang berkaitan dengan bidang kajiannya, waktu pelaksanaan kegiatan ditargetkan pada awal januari sampai akhir februari 2012
  1. DEVISI BIDANG PERENCANAAN, PENGKAJIAN DAN PENELITIAN KEBIJAKAN PUBLIK
Penelitian dan pengkajian isu strategis dibidang kebijakan publik, dengan pola kerja devisi berupa diskusi rutin maupun kegiatan lainya yang berkaitan dengan bidang kajiannya, waktu pelaksanaan kegiatan ditargetkan pada awal maret sampai akhir april 2012
  1. DIVISI BIDANG HUBUNGAN EXTERNAL DAN KERJASAMA ORGANISASI
Penelitian dan pengkajian isu strategis dibidang hubungan external dan kerjasama organisasi, dengan pola kerja devisi berupa diskusi rutin dan maupun kegiatan lainya yang berkaitan dengan bidang kajiannya, waktu pelaksanaan kegiatan ditargetkan pada awal mei sampai akhir juni 2012
  1. DIVISI BIDANG PENDIDIKAN DAN TEKHNOLOGI
Penelitian dan pengkajian isu strategis dibidang pendidikan dan tekhnologi, dengan pola kerja devisi berupa diskusi rutin maupun kegiatan lainya yang berkaitan dengan bidang kajiannya, waktu pelaksanaan kegiatan ditargetkan pada awal juni sampai akhir agustus 2012
  1. DIVISI BIDANG USAHA DAN EKONOMI POLITIK
Penelitian dan pengkajian isu strategis dibidang usaha dan ekonomi politik, dengan pola kerja devisi berupa diskusi rutin maupun kegiatan lainya yang berkaitan dengan bidang kajiannya, waktu pelaksanaan kegiatan ditargetkan pada awal september sampai akhir oktober 2012.
  1. DEVISI BIDANG HUKUM DAN ADVOKASI
Penelitian dan pengkajian isu strategis dibidang hukum dan advokasi, dengan pola kerja devisi berupa diskusi rutin maupun kegiatan lainya yang berkaitan dengan bidang kajiannya, waktu pelaksanaan kegiatan ditargetkan pada awal november sampai akhir desember 2012.

Pelaksanaan kegiatan organisasi yang bersifat rutin seperti, diskusi dan penelitian ilmiah baik yang dilaksanakan perminggu ataupun perbulan menjadi tugas pokok dari setiap devisi sesuai dengan topik utama yang diangkat. Adapun kegiatan yang bersifat insidentil seperti peringatan hari-hari besar nasional dan isu strategis berskala regional maupun nasional dilaksanakan secara serentak oleh seluruh komponen pengurus organisasi.

Metode riset, observasi dan survey merupakan alat utama bagi lembaga Fort Rotherdam Institute dalam mengelola isu-isu strategis yang dikaji. Spesifikasi dan deskripsi program kerja lembaga dijabarkan dalam term of reference kegiatan yang dilaksanakan.
                                                                Ditetapkan di : Makassar
Pada tanggal : 11 oktober 2011
Fort Rotherdam Institute
Sulawesi Selatan Indonesia




A.MAzhar.Al-Jurida,SIP                        IRSAN.SIP
Direktur Eksekutif                       Sekretaris Jendral


Karya Ilmiah Peran Legislative Dalam Mewujudkan Goodgovernance

 

BAB I
PENDAHULUAN
  1. Latar Belakang
Kepemerintahan daerah yang baik (good local governance) merupakan issue yang paling mengemuka dalam pengelolaan administrasi publik dewasa ini. Tuntutan yang dilakukan masyarakat kepada pemerintah untuk pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan daerah yang baik adalah sejalan dengan meningkatnya pengetahuan masyarakat di samping adanya globalisasi pergeseran paradigm pemerintahan dari “rulling government” yang terus bergerak menuju “good governance”dipahami sebagai suatu fenomena berdemokrasi secara adil. Untuk itu perlu memperkua peran dan fungsi DPRD agar eksekutif dapat menjalankan tugasnya dengan baik. DPRD yang seharusnya mengontrol jalannya pemerintahan agar selalu sesuai dengan aspirasi masyarakat, bukan sebaliknya merusak dan mengkondisikan Eksekutif untuk melakukan penyimpangan-penyimpangan terhadap aturan – aturan yang berlaku,melakukan kolusi dalam pembuatan anggaran agar menguntungkan dirinya, serta setiap kegiatan yang seharusnya digunakan untuk mengontrol eksekutif, justru sebaliknya digunakan sebagai kesempatan untuk “memeras” eksekutif sehingga eksekutif perhatiannya menjadi lebih terfokus untuk memanjakan anggota DPRD dibandingkan dengan masyarakat keseluruhan. Dengan demikian tidak aneh, apabila dalam beberapa waktu yang lalu beberapa anggota DPRD dari berbagai Kota/Kabupaten ataupun provinsi banyak yang menjadi tersangka atau terdakwa dalam berbagai kasus yang diindikasikan korupsi. Hal ini yang sangat disesalkan oleh semua pihak, perilaku kolektif anggota dewan yang menyimpang dan cenderung melanggar aturan-aturan hukum yang berlaku. Walaupun maraknya korupsi di DPRD ini secara kasat mata banyak diketahui masyarakat namun yang diadili dan ditindak lanjuti oleh aparat penegak hukum, sangatlah sedikit. Faktor ini dapat memicu ketidakpuasan masyarakat terhadap supremasi hukum di Negara kita. Elite politik yang seharusnya memberikan contoh dan teladan kepada masyarakat justru melakukan tindakan-tindakan yang tidak terpuji, memperkaya diri sendiri, dan bahkan melakukan pelanggaran hukum secara kolektif. Lemahnya penegakan hukum ini dapat memicu terjadinya korupsi secara kolektif oleh elite politik terutama anggota DPRD ini. Untuk menghindari adanya kooptasi politik antara kepala Daerah dengan DPRD maupun sebaliknya perlu dijalankan melalui prinsip “Check and Balances” artinya adanya keseimbangan serta merta adanya pengawasan terus menerus terhadap kewenangan yang diberikannya . Dengan demikian anggota DPRD dapat dikatakan memiliki akuntabilitas, manakala memiliki “ rasa tanggung jawab “ dan “kemampuan” yang profesional dalam menjalankan peran dan fungsinya tersebut. Mekanisme “Check and Balances” memberikan peluang eksekutif untuk mengontrol legislatif. Walaupun harus diakui oleh DPRD (Legislatif) memiliki posisi politik yang sangat kokoh dan seringkali tidak memiliki akuntabilitas politik karena berkaitan erat dengan system pemilihan umum yang dijalankan. Untuk itu kedepan perlu kiranya Kepala Daerah mempunyai keberanian untuk menolak suatu usulan dari DPRD terhadap kebijakan yang menyangkut kepentingannya, misalnya kenaikan gaji yang tidak masuk masuk akal,permintaan tunjangan yang berlebihan, dan membebani anggaran daerah untuk kegiatan yang kurang penting. Mekanisme “Check and Balances” ini dapat meningkatkan hubungan eksekutif dan legislatif dalam mewujudkan kepentingan masyarakat. DPRD sebagai lembaga legislatif yang kedudukannya sebagai wakil rakyat tidak mungkin melepaskan dirinya dari kehidupan rakyat yang diwakilinya . Oleh karena itu secara material mempunyai kewajiban untuk memberikan pelayanan kepada rakyat atau publik yang diwakilinya. DPRD sebagai wakil rakyat dalam tindakan dan perbuatan harus menyesuaikan dengan norma-norma yang dianut dan berlaku dalam kebudayaan rakyat yang diwakilinya. Dengan demikian DPRD tidak akan melakukan perbuatan yang tidak terpuji, menguntungkan pribadi dan membebani anggaran rakyat untuk kepentingannya. Dengan memahami etika pemerintahan diharapkan n dapat mengurangi tindakan-tindakan yang tercela, tidak terpuji dan merugikan masyarakat. Untuk itu perlu kiranya dibuatkan “kode etik” untuk para anggota DPRD yang dapat dijadikan pedoman dalam pelaksanaan peran dan fungsinya, sehingga kewenangan yang besar juga disertai dengan tanggung jawab yang besar pula. Sosok ideal DPRD yang bermoral, aspiratif dengan kepentingan rakyat , dan selalu memperjuangkan kesejahteraan masyarakat dapat terwujud. Kuncinya baik eksekutif maupun legislatif harus terjalin komunikasi timbale balik dan adanya keterbukaan diantara para pihak dalam penyelesaian segala permasalahan dalam mewujudkan kesejahteraan rakyatnya. Harapan-harapan tersebut dapat terwujud dengan adanya pemilihan Kepala daerah secara langsung, yang akan memperkuat posisi Kepala Daerah sehingga dapat menjadi mitra yang baik bagi DPRD dalam mengatasi berbagai persoalan yang dihadapi. Peran dan fungsi DPRD akan terjadi perubahan yang cukup signifikan seiring dengan pengurangan kewenangan yang dimilikinya tersebut. Dengan adanya keseimbangan hak dan kewenangan tersebut antara eksekutif dan legislatif diharapkan korupsi yang marak terjadi di DPRD (legislatif) dapat berkurang seiring dengan pematangan demokrasi dalam kehidupan masyarakat. Terwujudnya “Clean and good governance” merupakan harapan semua masyarakat.
Berdasarkan hal di atas maka penulis member judul “ Peran Dan Fungsi Lembaga DPRD Di Kota Makassar. dalam pencapaiam Goodgovernace “
  1. Rumusan Masalah
Dari latar belakang tersebut, maka rumusan masalah dalam penulisan ini adalah sebagai berikut:
    1. Faktor-faktor apa yang menyebabkan sulitnya pencapaian Goodgovernace/Pemerintahan yang baik
    2. Kurangnya pemahaman terhadapa fungsi dan peran anggota legislative di tingkat daerah.sehingga menjadi kendala untuk pencapaian goodgovernace
    3. Apakah yang menjadi kendala yang dihadapi pemrintah dalam hal ini lembaga legislative Kab.Morowali dalam mewujudkan goodgovernace.
  1. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
      1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
        1. Untuk mengetahui sejauh mana peran dan fungsi anggota legislative dalam mewujudkan pemerintahan yang baik ( Goodgovernace )
        2. Untuk lebih memahami fungsi dan peran legislative dalam pembangunan daerah menuju pemarintahan yang bersih dan baik..
        3. Untuk mengetahui kendala-kendala yang dihadapi oleh lembaga legislative dalam proses pencapaian goodgernace. Di Kota Makassar.
      1. Kegunaan Penelitian
Adapun kegunaan penelitian ini adalah sebagai berikut:
  1. Kegunaan Teoretis
Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan diskusi untuk pembahasan mengenai tata cara serta strategi pencapaian pemerintahan yang baik atau “goodgovernace”
  1. Kegunaan Praktis
Hasil penelitian ini selanjutnya dapat memberikan masukan yang berarti dalam penerapan bagi unsure pemerintah di guna mewujudkan “goodgovernace” atau pemerintahan yang baik.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

  1. Pengertian
  1. Goodgovernace” Atau pemerintahan yang baik
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa baik buruknya tata pemerintahan dijalankan mempunyai hubungan kausualitas yang erat dengan hasil-hasil pembangunan. Misalnya, penelitian Kaufmann, Kraay, dan Zoido-Lobaton (1999) menunjukkan bahwa kenaikan satu standar deviasi salah satu indicator pemerintahan menyebabkan kenaikan antara 2,5 sampai 4 kali pendapatan per kapita (range yang sama juga berlaku untuk penurunan angka kematian bayi), dan kenaikan tingkat melek huruf huruf antara 15 sampai 25 persen. Beberapa penelitian lainnya juga menunjukkan hubungan kausalitas positif antara efisiensi birokrasi dan menurunnya tingkat korupsi dengan pertumbuhan ekonomi dan investasi asing7. Bagi Indonesia, relevansi konsep ini menjadi sangat tinggi setelah banyak pihak menyalahkan ‘bad/poor governance’ sebagai faktor penyebab utama negara ini menjadi yang kondisi sosial ekonominya paling buruk di antara sekian banyak negara Asia yang terkena krisis moneter 1997. Definisi umum governance adalah tradisi dan institusi yang menjalankan kekuasaan di dalam suatu negara, termasuk (1) proses pemerintah dipilih, dipantau, dan digantikan, (2) kapasitas pemerintah untuk memformulasikan dan melaksanakan kebijakan secara efektif, dan
(3) pengakuan masyarakat dan negara terhadap berbagai institusi yang mengatur interaksi antara mereka. Unsur yang terakhir dapat dilakukan melalui tiga struktur komunikasi, yaitu kewenangan, legitimasi, dan representasi8. Kewenangan adalah hak pemerintah untuk membuat keputusan dalam bidang tertentu. Walaupun ini merupakan hak dari suatu pemerintah modern, namun yang terpenting adalah bagaimana melibatkan persepsi rakyat tentang tindakan yang perlu dilakukan pemerintah. Legitimasi diperoleh karena masyarakat mengakui bahwa pemerintah telah menjalankan peranannya dengan baik, atau kinerja dalam menjalankan kewenangan itu tinggi. Representasi diartikan sebagai hak untuk mewakili pengambilan keputusan bagi kepentingan golongan lain dalam kaitannya dengan alokasi sumber daya. Dari sini terlihat bahwa good governance tidaklah terbatas pada bagaimana pemerintah menjalankan wewenangya dengan baik semata, tetapi lebih penting lagi : adalah bagaimana masyarakat dapat berpartisipasi dan mengontrol pemerintah untuk menjalankan wewenang tersebut dengan baik
( accountable). Karenanya, seringkali tata pemerintahan yang baik dipandang sebagai “sebuah bangunan dengan 3 tiang”. Ketiga tiang penyangga itu adalah Transparansi, Akuntabilitas, dan Partisipasi.

1.1 Transparansi
Transparansi berarti terbukanya akses bagi semua pihak yang berkepentingan terhadap setiap informasi terkait --seperti berbagai peraturan dan perundang-undangan, serta kebijakan pemerintah– dengan biaya yang minimal. Informasi sosial, ekonomi, dan politik yang andal ( reliable) dan berkala haruslah tersedia dan dapat diakses oleh public (biasanya melalui filter media massa yang bertanggung jawab). Artinya, transparansi dibangun atas pijakan kebebasan arus informasi yang memadai disediakan untuk dipahami dan (untuk kemudian) dapat dipantau. Transparansi jelas mengurangi tingkat ketidakpastian dalam proses pengambilan keputusan dan implementasi kebijakan publik. Sebab, penyebarluasan berbagai informasi yang selama ini aksesnya hanya dimiliki pemerintah dapat memberikan kesempatan kepada berbagai komponen masyarakat untuk turut mengambil keputusan. Oleh karenanya, perlu dicatat bahwa informasi ini bukan sekedar tersedia, tapi juga relevan dan bisa dipahami publik. Selain itu, transparansi ini dapat membantu untuk mempersempit peluang korupsi di kalangan para pejabat publik dengan “terlihatnya” segala proses pengambilan keputusan oleh masyarakat luas.

1.2 Akuntabilitas
Akuntabilitas atau accountability adalah kapasitas suatu instansi pemerintahan untuk bertanggung jawab atas keberhasilan maupun kegagalannya dalam melaksanakan misinya dalam mencapai tujuan dan sasaran yang ditetapkan secara periodik. Artinya, setiap instansi pemerintah mempunyai kewajiban untuk mempertanggungjawabkan pencapaian organisasinya dalam pengelolaan sumberdaya yang dipercayakan
kepadanya, mulai dari tahap perencanaan, implementasi, sampai pada pemantauan dan evaluasi. Akuntabilitas merupakan kunci untuk memastikan bahwa kekuasaan itu dijalankan dengan baik dan sesuai dengan kepentingan publik. Untuk itu, akuntabilitas mensyaratkan kejelasan tentang siapa yang bertanggunggugat, kepada siapa, dan apa yang dipertanggunggugatkan. Karenanya, akuntabilitas bisa berarti pula penetapan sejumlah kriteria dan indikator untuk mengukur kinerja instansi pemerintah, serta mekanisme yang dapat mengontrol dan memastikan tercapainya berbagai standard tersebut. Berbeda dengan akuntabilitas dalam sektor swasta yang bersifat dual-accountability structure (kepada pemegang saham dan konsumen), akuntabilitas pada sektor public bersifat multiple-accountability structure. Ia dimintai pertanggungjawaban oleh lebih banyak pihak yang mewakili pluralisme masyarakat. Rincinya, kinerja suatu instansi pemerintah harus dapat dipertanggungjawabkan terhadap atasan, anggota DPRD, organisasi nonpemerintah, lembaga donor, dan komponen masyarakat lainnya. Semua itu berarti pula, akuntabilitas internal (administratif) dan eksternal ini menjadi sama
pentingnya. Akhirnya, akuntabilitas menuntut adanya kepastian hukum yang merupakan resultan dari hukum dan perundangan-undangan yang jelas, tegas, diketahui publik di satu pihak, serta upaya penegakan hukum yang efektif , konsisten, dan tanpa pandang bulu di pihak lain. Kepastian hukum juga merupakan indikator penting dalam menimbang tingkat kewibawaan suatu pemerintahan, legitimasinya di hadapan rakyatnya, dan dunia internasional.





1.3 Partisipasi
Partisipasi merupakan perwujudan dari berubahnya paradigma mengenai peran masyarakat dalam pembangunan. Masyarakat bukanlah sekedar penerima manfaat (beneficiaries) atau objek belaka, melainkan agen pembangunan (subjek) yang mempunyai porsi yang penting. Dengan prinsip “dari dan untuk rakyat”, mereka harus memiliki akses pada pelbagai institusi yang mempromosikan pembangunan. Karenanya, kualitas hubungan antara pemerintah dengan warga yang dilayani dan
dilindunginya menjadi penting di sini. Hubungan yang pertama mewujud lewat proses suatu pemerintahan dipilih. Pemilihan anggota legislatif dan pimpinan eksekutif yang bebas dan jujur merupakan kondisi inisial yang dibutuhkan untuk memastikan bahwa hubungan antara pemerintah –-yang diberi mandat untuk menjadi “dirigen” tata pemerintahan ini—dengan masyarakat (yang diwakili legislatif) dapat berlangsung dengan baik. Pola hubungan yang kedua adalah keterlibatan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan. Kehadiran tiga domain pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat sipil dalam proses ini amat penting untuk memastikan bahwa proses “pembangunan” tersebut dapat memberikan manfaat yang terbesar atau “kebebasan” (mengutip Amartya Zen) bagi masyarakatnya. Pemerintah menciptakan lingkungan politik, ekonomi, dan hukum yang kondusif. Sektor s wasta menciptakan kesempatan kerja yang implikasinya meningkatkan peluang 6 untuk meningkatkan pendapatan masyarakat. Akan halnya masyarakat sipil (lembaga swadaya masyarakat, organisasi masyarakat, organisasi keagamaan, koperasi, serikat pekerja, dan sebagainya) memfasilitasi interaksi sosial-politik untuk berpartisipasi dalam berbagai aktivitas ekonomi, sosial, dan politik. Sementara itu, di tingkat praktis, partisipasi dibutuhkan untuk mendapatkan informasi yang andal dari sumber pertama, serta untuk mengimplementasikan pemantauan atas atas implementasi kebijakan pemerintah, yang akan meningkatkan “rasa memiliki” dan kualitas implementasi kebijakan tersebut. Di tingkatan yang berbeda, efektivitas suatu kebijakan dalam pembangunan mensyaratkan adanya dukungan yang luas dan kerja sama dari semua pelaku (stakeholders) yang terlibat dan memiliki kepentingan.
2. Mewujudkan Good Governance
Secara analogi, governance dalam konteks organisasi secara umum, baik berupa organisasi perusahaan maupun organisasi publik atau sosial lainnya, maka dapat diartikan pula sebagai suatu sistem dan struktur yang baik dan benar yang menciptakan kejelasan mekanisme hubungan organisasi baik secara internal maupun eksternal. Good governance terwujud dalam implementasi dan penegakan (enforcement) dari sistem dan struktur yang telah tersusun dengan baik. Implementasi dan penegakan tersebut bertumpu pada, umumnya, lima prinsip yang universal yaitu: responsibility, accountability, fairness, independency, dan transparency. Kelima prinsip fundamental tersebut dapat dijelaskan secara singkat berikut ini: • Responsibility: kesesuaian di dalam pengelolaan perusahaan terhadap prinsip korporasi yang sehat serta peraturan perundangan yang berlaku; • Accountability: kejelasan fungsi, struktur, sistem dan prosedur pertanggungjawaban organ perusahaan sehingga pengelolaan perusahaan terlaksana secara efektif; • Fairness: perlakuan yang adil dan setara di dalam memenuhi hak-hak stakeholder yang timbul berdasarkan perjanjian dan peraturan perundangan yang berlaku; • Independency: pengelolaan secara profesional, menghindari benturan kepentingan dan tekanan pihak manapun sesuai peraturan perundangan yang berlaku; • Transparency: keterbukaan informasi di dalam proses pengambilan keputusan dan di dalam mengungkapkan informasi material dan relevan mengenai perusahaan. Kelima prinsip tersebut bukanlah harga mati atau one size fits all, artinya dalam menerapkan dan menegakkan good governance kelima prinsip tersebut disesuaikan dengan budaya dan problem masing-masing institusi yang akan menjalankannya. Disamping itu, apabila menilik berbagai code of conduct ataupun best practice dari berbagai institusi di berbagai negara, maka kelima prinsip dasar tersebut hampir selalu dapat ditemukan karena sifatnya yang universal. Namun demikian, perlu diperhatikan pula bahwa kelima prinsip ini sifatnya evolutionary in nature, artinya berkembang sesuai kebutuhan dan dinamika masyarakat yang menerapkan dan menegakkannya. Juga, praktik good governance di berbagai institusi di beberapa negara mengajarkan bahwa good governance is about time as well, artinya penerapan dan penegakan good governance tidak semudah membalikkan telapak tangan, melainkan akan terkait erat dengan waktu, mengingat perubahan yang akan dilakukan adalah tidak sedikit dan tidak sederhana, terutama pada aspel mental dan budaya masyarakat yang akan menerapkan dan menegakkan good governance.

1. Public Governance
Perspektif sektor publik terhadap good governance menempatkan proses pencapaian tujuan bersama dalam bernegara yang melibatkan pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat melalui sistem administrasi negara.1 Untuk dapat tercapainya tujuan tersebut, maka tentunya masing-masing institusi/lembaga negara harus secara serempak menerapkan dan menegakkan good governance. Hal ini dapat efektif dicapai melalui administrasi publik/birokrasi yang mampu dalam menjalankan peran, tugas dan fungsinya secara sungguh-sungguh, penuh rasa tanggungjawab, yang dilaksanakan secara efektif, efisien, bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme, untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran seluruh masyarakat dan warga negara. Seperti halnya pada sektor privat, maka penerapan dan penegakan prinsip-prinsip good governance pada sektor publik menjadi prasyarat mutlak pula dalam mewujudkan good governance atau clean government. Prinsip-prinsip good governance pada dasarnya mengandung nilai yang bersifat obyektif dan universal yang menjadi acuan dalam menentukan tolak ukur atau indicator dan ciri-ciri/karekteristik penyelenggaraan pemerintahan negara yang baik. Prinsip-prinsip good governance dalam praktek penyelenggaraan Negara dituangkan dalam (tujuh) asas-asas umum penyelenggaraan negara sebagaimana dimaksud dalam UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas Korupsi Kolusi dan Nepotisme. Adapun prinsip atau asas umum dalam penyelenggaraan Negara meliputi :
1. Asas Kepastian Hukum adalah asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap kebijakan Penyelenggara Negara.
2. Asas Tertib Penyelenggaraan Negara adalah asas yang menjadi landasan keteraturan, keserasian, dan keseimbangan, dalam pengendalian Penyelenggara Negara.
3. Asas Kepentingan Umum adalah asas yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif, dan selektif.
4. Asas Keterbukaan adalah asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif, tentang penyelenggaraan negara dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan, dan rahasia negara.Ini tertuang juga dalam undang-undang yang baru yakni Undang-Undang no 14 Tahun 2008 Tentang keterbukaan informasi publik.
5. Asas Proporsionalitas adalah asas yang mengutamakan keseimbangan antara hak dan kewajiban Penyelenggara Negara.
6. Asas Profesionalitas adalah asas yang mengutamakan keahlian yang berlandaskan kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
7. Asas Akuntabilitas adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan Penyelenggara Negara harus dapat dipertanggung jawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Good governance pada sektor publik di Indonesia diamanatkan kepada tiga bagian yaitu:
  • Eksekutif;
  • Yudikatif; dan
  • Legislatif.
Tulisan ini difokuskan pada pembahasan good governance yang diamanatkan kepada legislatif yang diemban oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Dalam menjalankan perannya sebagai wakil rakyat, DPRD melakukan tiga fungsi utama, yaitu:
  • Fungsi legislasi;
  • Fungsi penganggaran; dan
  • Fungsi pengawasan.
Ketiga fungsi tersebut harus dijalankan dengan baik/tepat/pantas, sebagaimana diinspirasikan dari analogi seaworthy pada kapal Titanic sebelumnya. Penerapan dan penegakan tersebut bertumpuh pada asas fiduciary duty: yaitu bahwa pengangkatan setiap anggota DPR/DPRD didasarkan pada asas kepercayaan (dari rakyat) bahwa setiap anggota yang diangkat akan menjalankan fungsi dan perannya dengan menjunjung tinggi duties sbb:
  • duty of skill and care;
  • duty to act in bona fide;j
  • duty of good faith;
  • duty of loyalty;
  • duty of honesty.
Singkatnya, bahwa para wakil rakyat tersebut diyakini oleh rakyat yang memilihnya memiliki kemampuan yang baik untuk perform peran, tugas, dan kewenangan yang diamanatkan. Dalam mengemban amanah tersebut, diyakini rakyat bahwa para wakil tersebut memiliki kemampuan/kompetensi dan integritas tinggi, akan menjalankan tugasnya dengan profesional dan komitmen penuh, serta selalu menjunjung niat baik, kesetiaan, dan kejujuran. Fungsi Legislasi, Fungsi legislasi merupakan suatu proses untuk mengakomodasi berbagai kepentingan para pihak (stakeholders), untuk menetapkan bagaimana pembangunan di daerah akan dilaksanakan. Fungsi legislasi bermakna penting dalam beberapa hal berikut:
  • Menentukan arah pembangunan dan pemerintahan di daerah;
  • Dasar perumusan kebijakan publik di daerah;
  • Sebagai kontrak sosial di daerah;
  • Pendukung Pembentukan Perangkat Daerah dan Susunan Organisasi Perangkat Daerah
Disamping itu, dalam menjalankan fungsi legislasi ini DPRD berperan pula sebagai policy maker, dan bukan policy implementer di daerah. Artinya, antara DPRD sebagai pejabat publik dengan masyarakat sebagai stakeholders, ada kontrak sosial yang dilandasi dengan fiduciary duty. Dengan demikian, fiduciary duty ini harus dijunjung tinggi dalam setiap proses fungsi legislasi.Dalam praktik dan realita saat ini, proyeksi good public governance pada fungsi legislasi saat ini masih membutuhkan banyak penataan dan transformasi ke arah yang lebih baik. Peningkatan performa tersebut dapat dilakukan antara lain dengan:

  • Peningkatan pemahaman tentang perencanaan dalam fungsi legislasi;
  • Optimalisasi anggota DPRD dalam mengakomodasi aspirasi stakeholders;
  • Ditumbuhkannya inisiatif DPRD dalam penyusunan RAPERDA;
  • Ditingkatkannya kemmapuan analisis (kebijakan publik & hukum) dalam proses penyusunan RAPERDA;
  • Pemahaman yang lebih baik atas fungsi perwakilan dalam fungsi legislasi; dll. Fungsi Penganggaran Fungsi penganggaran merupakan penyusunan dan penetapan anggaran pendapatandan belanja daerah bersama-sama pemerintah daerah. Dalam menjalankan fungsi ini,DPRD harus terlibat secara aktif, proaktif, dan bukan reaktif & sebagai legitimator usulan.APBD ajuan pemerintah daerah;Fungsi penganggaran ini perlu memperoleh perhatian penuh, mengingat makna pentingnya sebagai berikut:
  • APBD sebagai fungsi kebijakan fiskal (fungsi alokasi, fungsi distribusi, & fungsi stabilisasi);
  • APBD sebagai fungsi investasi daerah;
  • APBD sebagai fungsi manajemen pemerintahan daerah (fungsi perencanaan, fungsi otorisasi, fungsi pengawasan). Dalam konteks good governance, maka peran serta DPRD harus diwujudkan dalam tiap proses penyusunan APBD dengan menjunjung fiduciary duty. Prinsip-prinsip universal good governance dalam konteks GCG, yaitu TARIF/RAFIT principles, sangat tepat apabila dapat diterapkan secara nyata dalam menjalankan fungsi penganggaran ini. 1
Adapun good public governance pada fungsi penganggaran saat ini dapat lebih berperan secara konkrit apabila memperoleh perhatian dan kecermatan dalam beberapahal berikut: Penyusunan KUA (Kebijakan Umum APBD), antara lain:
  • Efektifitas pembentukan jaring asmara;
  • Eliminasi kepentingan individu, kelompok, dan golongan;
  • Pembenahan penyusunan RPJMD dan Renstra-SKPD;
  • Peningkatan kapasitas pemerintah daerah dan DPRD dalam merumuskan KUA
  • Penyusunan PPAS, antara lain:
  • Akuntabilitas terhadap nilai anggaran;
  • Kelengkapan data-data pendukung;
  • Peningkatan kapasitas anggota DPRD dan pemerintah daerah dalam menyusun prioritas urusan dan program;
  • Kesesuaian antara prioritas program dengan kebutuhan rakyat Raperda APBD
  • Sosialisasi Perda APBD
Fungsi Pengawasan
Fungsi pengawasan merupakan salah satu fungsi manajemen untuk menjamin pelaksanaan kegiatan sesuai dengan kebijakan dan rencana yang telah ditetapkan serta memastikan tujuan dapat tercapai secara efektif dan efisien. Fungsi ketiga ini bermakna penting, baik bagi pemerintah daerah maupun pelaksana pengawasan. Bagi pemerintah daerah, fungsi pengawasan merupakan suatu mekanisme peringatan dini (early warning system), untuk mengawal pelaksanaan aktivitas mencapai tujuan dan sasaran. Sedangkan bagi pelaksana pengawasan, fungsi pengawasan ini merupakan tugas mulia untuk memberikan telaahan dan saran, berupa tindakan perbaikan. Disamping itu, pengawasan memiliki tujuan utama, antara lain:
  • Menjamin agar pemerintah daerah berjalan sesuai dengan rencana;
  • Menjamin kemungkinan tindakan koreksi yang cepat dan tepat terhadap penyimpangan dan penyelewengan yang ditemukan;
  • Menumbuhkan motivasi, perbaikan, pengurangan, peniadaan penyimpangan;
  • Meyakinkan bahwa kinerja pemerintah daerah sedang atau telah mencapai tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan. Namun demikian, praktik good public governance pada fungsi pengawasan saat ini masih membutuhkan beberapa improvement agar dapat mencapai tujuannya tersebut. Fungsi pengawasan dapat diselaraskan dengan tujuannya, antara lain dengan melakukan beberapa hal berikut:
  • Memaknai secara benar fungsi dan tujuan pengawasan, sehingga dapat menjadi mekanisme check & balance yang efektif;
  • Optimalisasi pengawasan agar dapat memberikan kontribusi yang diharapkan pada pengelolaan pemerintahan daerah; 
  • Penyusunan agenda pengawasan DPRD;
  • Perumusan standar, sistem, dan prosedur baku pengawasan DPRD;
  • Dibuatnya mekanisme yang efisien untuk partisipasi masyarakat dalam proses pengawasan, dan saluran penyampaian informasi masyarakat dapat berfungsi efektif sebagai salah satu alat pengawasan. Disadari pula bahwa untuk dapat mengadakan perbaikan, penataan, reformasi, atau transformasi dari existing performance ke future performance DPRD dibutuhkan strategi yang tepat. Lembaga Administrasi Negara dalam kertas kerjanya mengajukan beberapa strategi yang diharapkan dapat diterapkan secara efektif pada sektor publik, yaitu sebagai berikut:
1. Pemberantasan KKN. Sebagai prasyarat penerapan good governance adalah adanya pemerintah yang bersih (clean government). Untuk mewujudkan clean government perlu adanya komitmen dari seluruh komponen bangsa dalam upaya pemberantasan KKN. Namun upaya Pemberantasan KKN tidak cukup dilakukan hanya dengan komitmen semata, diperlukan pula upaya nyata yang sungguhsungguh baik dalam pencegahan, penanggulangan, dan pemberantasannya. Komitmen harus diwujudkan dalam bentuk strategi yang komprehensif yang mencakup aspek preventif (mencegah terjadinya korupsi dengan menghilangkan/meminimalkan faktor-faktor penyebab atau peluang korupsi), detektif (mengidentifikasi terjadinya perbuatan korupsi), dan represif (menangani atau memproses perbuatan korupsi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku) yang dilaksanakan secara intensif dan berkelanjutan.

2. Reformasi birokrasi/administrasi publik. Pemerintah merupakan unsur yang paling berperan dalam penyelenggaraan negara. Pemerintah dari tingkat pusat, propinsi maupun kabupaten/kota melakukan fungsi-fungsi pengaturan dan pemberian pelayanan. Upaya mewujudkan good governance perlu dilakukan terlebih dahulu dengan menempatkan pemerintah dalam fungsi yang sebenarnya melalui reformasi birokrasi sehingga akan terwujud clean government yang menjadi prasyarat utama untuk mewujudkan good governance. Reformasi birokrasi dapat dilakukan antara lain melalui upaya managerial efficiency and effectiveness dalam penggunaan sumber-sumber daya, kemitraan dengan sektor swasta dalam penyediaan pelayanan, desentralisasi, dan penggunaan teknologi informasi.
3. Penyempurnaan berbagai peraturan perundang-undangan.
Salah satu fungsi DPRD yaitu fungsi legislasi adalah meyusun peraturan perundang-undangan yang mengatur kehidupan masyarakat dan negara. Namun demikian, tidak serta merta seluruh kehidupan masyarakat diatur melalui peraturan perundang-undangan. Peraturan hanya dibuat jika perlu intervensi pemerintah untuk mengatur. Penyusunan peraturan yang efisien akan berdampak pada efektivitas dalam hal penegakan hukumnya.
4. Kejelasan fungsi dan peran setiap instansi pemerintah.
Kejelasan fungsi dan peran yang dijalankan oleh setiap instansi pemerintah dalam penyelenggaraan negara. Hal tersebut diwujudkan dalam hubungan antar instansi pemerintah, antara instansi pemerintah dengan legislatif, antara instansi pemerintah dengan masyarakat (publik), dengannya akan menghindari terjadinya tumpang tindih peran yang dilaksanakan.
5. Peningkatan kapasitas dan kapabilitas.
The right man on the right place menjadi pertimbangan utama dalam menempatkan orang-orang yang tepat pada setiap posisi manajerial dan fungsional untuk menjamin DPRD berfungsi efektif dan dapat menghasilkan kinerja yang optimal. Pengembangan sumber daya manusia sesuai dengan kebutuhan peningkatan kinerja organisasi. Hal ini perlu diikuti pula dengan evaluasi kinerja. Tentunya agar dapat berjalan dengan baik sesuai rencana dan harapan, maka harus dimulai sejak pemilihan calon anggota dewan.
6. Peningkatan akuntabilitas.
Setiap instansi pemerintah dituntut untuk mempertanggungjawabkan setiap amanah yang diberikannya termasuk penggunaan anggaran yang dipercayakan kepadanya. Untuk dapat melakukan tugas yang akuntabel tentunya perlu disusun terlebih dahulu rencana strategis dan rencana operasional tahunan, mengembangkan pola-pola pelaksanaan, pengawasan pengendalian, serta evaluasi dan pelaporan pelaksanaan tugas-tugas yang transparan.
7. Transparan dalam pengambilan keputusan.
Transparan tentang bagaimana keputusan diambil. Keputusan diambil dengan mempertimbangkan informasi yang berkualitas, saran stakeholders, nara sumber/ahli serta mempertimbangkan berbagai dampak yang mungkin ditimbulkan. Agar setiap keputusan yang telah diambil dapat dipertanggungjawabkan secara proses, maka perlu dilakukan dokumentasidokumentasi tertentu berkaitan dengan proses tersebut, sehingga setiap kesalahankesalahan atau penyimpangan-penyimpangan dalam pengambilan keputusan dapat dideteksi dari hasil dokumentasi tersebut. Dokumentasi ini memiliki arti penting dalam upaya secara terus menerus memperbaiki sistem manajemen pemerintahan dalam rangka menciptakan pemerintahan yang bersih.
8. Penerapan nilai budaya kerja dalam praktek penyelengaraan negara.
Pengembangan nilai budaya kerja dengan mengadopsi nilai-nilai moral dan etika yang dianggap baik dan positif, yang meliputi nilai sosial budaya yang positif yang relevan, norma atau kaidah, etika dan nilai kinerja yang produktif yang bersumber dari agama, falsafah, tradisi, dan metode kerja modern sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Nilai tersebut dipedomani dalam upaya meningkatkan produktivitas dan kinerja dalam penyelenggaraan pemerintahan negara.
9. Pemanfaatan Teknologi Informasi
Pemanfaatan teknologi informasi dalam setiap proses penyelenggaraan pemerintahan akan mendorong: (a) transparansi, aksesibilitas informasi, dan akuntabilitas; (b) pengambilan keputusan yang didukung dengan informasi yang akurat; (c) partisipasi publik; dan (d) meningkatkan kualitas pelayanan.
10. Code of Conducts.
Upaya lain yang dilakukan untuk mewujudkan good governance adalah dengan menerapkan code of conducts bagi para pejabat publik. Code of conducts merupakan prinsip-prinsip yang harus ditaati oleh setiap pejabat public secara individual baik dalam tingkah laku ketika mereka berhubungan dengan publik dan pihak legislatif, maupun dalam pelaksanaan tugas sehari-hari sehingga terhindar dari praktek diskriminasi dan pelecehan, praktek pengelolaan informasi yang dapat disampaikan kepada publik dan yang harus dirahasiakan, praktek penggunaan fasilitas-fasilitas yang diberikan dalam pelaksanaan tugas pemerintahan untuk kepentingan pribadi, keterlibatan dalam organisasi politik, praktek penggunaan pengaruh untuk kepentingan pribadi, keterlibatan dengan pekerjaan di luar kantor pada jam kerja, praktek KKN, dan larangan menerima berbagai pemberian dari pihak lain yang memiliki kaitan dengan pelaksanaan tugas. Penyusunan strategi dibutuhkan untuk menentukan arah perubahan yang akan dilakukan. Namun demikian, strategi juga akan menjadi sekedar penyusunan kertas kerja saja apabila tidak disertai kebulatan tekad dan semangat untuk benar-benar menerapkan dan menegakkannya. Setiap pengangkatan anggota dewan tidak bersifat “gratis”, tetapi kelak di ujung masa jabatannya akan dimintai pertanggungjawaban atau akuntabilitasnya. Pada dasarnya akuntabilitas merupakan salah satu bentuk konsekwensi dari penerimaan suatu tugas. Pertanggungjawaban ini harus disampaikan kepada pihak yang telah mengangkat/menunjukya untuk melakukan tugas tersebut, dalam hal ini adalah rakyat.DPRD harus dapat menjelaskan setiap langkah strategis yang sudah dicanangkan disertai penjelasan atas pencapaian atau realisasinya.




Hambatan dalam pelaksanaan good governance antara lain :
1. Belum adanya sistem akuntansi pemerintahan daerah yang baik yang dapat mendukung pelaksanaan pencatatan dan pelaporan secara handal.
2. Sangat terbatasnya jumlah personil pemerintah daerah yang berlatar belakang pendidikan Akuntansi, sehingga mereka tidak begitu peduli dengan permasalahan ini.
3. Belum adanya standar akuntansi keuangan sektor publik yang baku. Penguatan fungsi pengawasan dapat dilakukan melalui optimalisasi peran DPRD sebagai kekuatan penyeimbang (balance of power) bagi eksekutif daerah dan partisipasi masyarakat secara langsung maupun tidak langsung melalui LSM dan organisasi social kemasyarakatan di daerah (social control). Berdasarkan hal di atas maka penulis member judul “ Peran Dan Fungsi Lembaga DPRD Kota Makassar dalam pencapaiam Goodgovernace “
B. Prinsip Goodgovernace.
Prinsip-prinsip tata pemerintahan yang baik (good governance) yang harus dikembangkan dalam Implementasi kebijakan secara umum adalah: Responsif, tanggap terhadap kebutuhan orang dan stakeholders. Participatory, orang yang terkena dampak suatu kebijakan harus dilibatkan dalam proses pembuatan kebijakan tersebut. Transparant; adanya informasi yang luas atas suatu program; Equitable; adanya akses yang sarna bagi setiap orang terhadap kesempatandan aset. Accountable; pengambilan keputusan oleh pemerintah, sektor swasta danmasyarakat harus dapat dipertanggung jawabkan kepada masyarakat umum dan seluruh stakeholders; Consensus Oriented, perbedaan kepentingan dimusyawarahkan untuk mencipakan kepentingan orang banyak.. Prinsip spirit Governance adalah ingin menjamin hak - hak demokrasi ada di tangan rakyat. Tiga sektor dalam good governance yaitu sektor pemerintahan, sektor privat, dan masyarakat seharusnya mempunyai pembagian yang hak dan tanggungjawab bersama dan jelas yang diatur dalam kontrak sosial, mana kontrak sosial tersebut merupakan hasil produk pengaturan bersama yang melibatkan ketiga sektor tersebut.sistem ini dapat memberi implikasi yuridis apabila lembaga - lembaga tersebut melalaikan fungsinya dalam mewujudkan transparansi informasi informasi dan akuntabilitas public.
C.Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Dewan Perwakilan Rakyat atau lembaga perwakilan rakyat yang disebut Lembaga Legislative adalah lembaga yang menjadi mitra pemerintah sekaligus pengawas kinerja dari pemerintah, Dewan Perwakilan rakyat juga berkedudukan di Ibu kota Repoblik Indonesia Sebagai Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang berkedudukan di profinsi Disebut DPRD PROFINSI,Dan Dewan Perwakilan rakyat daerah yang berkedudukan di kabupaten / Kota yang disebut DPRD Kota / DPRD Kabupaten ..
Lembaga Dewan perwakilan rakyat daerah juga disebut lembaga pemerintah daerah yang memiliki Fungsi Legislasi,Anggaran dan juga pengawasan, Tentunya kita ketahui bahwa peran dan fungsi lembaga perwakilan rakyat baik di ibukota maupun didaerah sangat memiliki peran yang sangat penting dalam tatanan pemerintahan guna mewujudkan Godgovernace,hadirnya lembaga legislative dengan wajah yang baru di era Reformasi saat ini sangat menjanjikan guna peningkatan kesejahtraan masyarakat yang tentunya menjadi harapan kita bersama, Anggota Dewan perwakilan rakyat yang dipilih secara langsung tentunya menjadi penyambung lidah antara masyarakat dan pemerintah guna mengetahui apa-apa saja yang menjadi keluhan rakyat yang di pimpin oleh pemerintah.
Dari ketiga fungsi lembaga legislative yang telah dipaparkan diatas menjadi sangat penrting ketika anggota dewan perwakilan rakyat mampu menjalankan fungsinya dengan optimal,

D. Peran dan Fungsi DPRD
Penyelenggaraan pemerintahan dalam suatu negara tidak hanya terdapat di pusat pemerintahan saja. Pemerintahan pusat memberikan wewenangnya kepada pemerintah daerah untuk menyelenggarakan pemerintahannya sendiri, dan di Indonesia yang dimaksud dengan pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi yang seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945. Sedangkan dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah, dilaksanakan dengan asas Desentralisasi, yaitu penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonomi untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam system Negara Kesatuan Republik Indonesia. Di samping itu juga melaksanakan Dekonsentrasi, yaitu pelimpahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan / atau kepada instansi vertikal, dan serta melaksanakan Tugas Pembantuan, yaitu penugasan dari pemerintahan kepada daerah dan/atau desa dari pemerintahan propinsi kepada kabupaten/kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu. Dalam menyelenggarakan pemerintahan di daerah, diperlukan perangkatperangkat dan lembaga-lembaga untuk menyelenggarakan jalannya pemerintahan di daerah sehari-hari. Sebagaimana hanya di pusat negara, perangkat-perangkat dan lembaga-lembaga daerah biasanya merupakan refleks dari sistem yang ada di pusat negara. Untuk memenuhi fungsi perwakilan dalam menjalankan kekuasaan legislaif daerah sebagaimana di pusat negara di daerah dibentuk pula Lembaga Perwakilan Rakyat, dan lembaga ini biasa dikenal atau dinamakan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah. Dewan Perwakilan Daerah adalah lembaga perwakilan rakyat daerah sebagai unsur penyelenggaraan pemerintahan daerah. Secara umum peran ini diwujudkan dalam tiga fungsi, yaitu: 1. Regulator. Mengatur seluruh kepentingan daerah, baik yang termasuk urusanurusan rumah tangga daerah (otonomi) maupun urusan-urusan pemerintah pusat yang diserahkan pelaksanannya ke daerah (tugas pembantuan); 2. Policy Making. Merumuskan kebijakan pembangunan dan perencanaan programprogram pembangunan di daerahnya; 3. Budgeting. Perencanaan angaran daerah (APBD) Dalam perannya sebagai badan perwakilan, DPRD menempatkan diri selaku kekuasaan penyeimbang (balanced power) yang mengimbangi dan melakukan control efektif terhadap Kepala Daerah dan seluruh jajaran pemerintah daerah. Peran ini diwujudkan dalam fungsi-fungsi berikut: 1. Representation. Mengartikulasikan keprihatinan, tuntutan, harapan dan melindungi kepentingan rakyat ketika kebijakan dibuat, sehingga DPRD senantiasa berbicara “atas nama rakyat”; 2. Advokasi. Anggregasi aspirasi yang komprehensif dan memperjuangkannya melalui negosiasi kompleks dan sering alot, serta tawar-menawar politik yang sangat kuat. Hal ini wajar mengingat aspirasi masyarakat mengandung banyak kepentingan atau tuntutan yang terkadang berbenturan satu sama lain. Tawar menawar politik dimaksudkan untuk mencapai titik temu dari berbagai kepentingan tersebut.
3. Administrative oversight. Menilai atau menguji dan bila perlu berusaha mengubah tindakan-tindakan dari badan eksekutif. Berdasarkan fungsi ini adalah tidak dibenarkan apabila DPRD bersikap “lepas tangan” terhadap kebijakan pemerintah daerah yang bermasalah atau dipersoalkan oleh masyarakat. Apalagi dengan kalimat naif, “Itu bukan wewenang kami”, seperti yang kerap terjadi dalam praktek. Dalam kasus seperti ini, DPRD dapat memanggil dan meminta keterangan, melakukan angket dan interpelasi, bahkan pada akhirnya dapat meminta pertanggung jawaban Kepala Daerah. Lebih khusus berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku (UU Susduk dan UU Pemerintahan Daerah), implementasi kedua peran DPRD tersebut lebih disederhanakan perwujudannya ke dalam tiga fungsi, yaitu :
  • Fungsi legislasi
  • Fungsi anggaran; dan
  • Fungsi pengawasan
Pelaksanaan ketiga fungsi tersebut secara ideal diharapkan dapat melahirkan output, sebagai berikut:
1. PERDA-PERDA yang aspiratif dan responsif. Dalam arti PERDA-PERDA yang dibuat telah mengakomodasi tuntutan, kebutuhan dan harapan rakyat. Hal itu tidak mungkin terwujud apabila mekanisme penyusunan Peraturan Daerah bersifat ekslusif dan tertutup. Untuk itu mekanisme penyusunan PERDA yang dituangkan dalam Peraturan Tata Tertib DPRD harus dibuat sedemikian rupa agar mampu menampung aspirasi rakyat secara optimal.
2. Anggaran belanja daerah (APBD) yang efektif dan efisien, serta terdapat kesesuaian yang logis antara kondisi kemampuan keuangan daerah dengan keluaran (output) kinerja pelayanan masyarakat
3. terdapatnya suasana pemerintahan daerah yang transparan dan akuntabilitas, baik dalam proses pemerintahan maupun dalam penganggaran. Untuk melaksanaan ketiga fungsi yang ideal tersebut, DPRD dilengkapi dengan modal dasar yang cukup besar dan kuat, yaitu tugas dan wewenang, alat-alat kelengkapan DPRD, Hak-hak DPRD/anggota, dan anggaran DPRD yang mandiri.

 
BAB III
METODE PENELITIAN

  1. Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan di kantor Bupati dan DPRD. Kota Makassar tempat ini sebagai sumber informasi.karena pelaksanaan goodgovernace tentunya dilaksanakan oleh pemerintah Kota Makassar baik itu Eksekutif maupun Lembaga Legislative ( DPRD ) Kota Makassar

  1. Populasi dan Sampel
Dalam penelitian ini, yang menjadi populasi adalah semua unsur pemerintah Di Kota Makassar . Baik itu pemerintah dalam hal ini Lembaga Eksekutive ( Wali Kota ) maupun lembaga legislative ( DPRD ).serta masyarakat sebagai objek penelitian kami yang kami anggap sebagai orang yang mampu memberikan predikat terhadap kinerja dari anggota legislative dalam mewujudkan tata pemerintahan yang baik /Goodgovernace.
  1. Jenis dan Sumber Data
Data yang akan dikumpulkan pada penelitian ini terdiri atas data primer dan data sekunder. Data primer berupa data yang diperoleh langsung dari responden yang berasal dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat kota Makassar,Pemerintah kota Makassar,tokoh masyarakat,pemuda,agama dan data pendukung yang diperoleh dari buku-buku hasil penelusuran studi kepustakaan.

  1. Teknik Pengumpulan Data
Untuk memperoleh data yang dibutuhkan digunakan beberapa teknik pengumpulan data yaitu sebagai berikut:
    1. Studi pustaka (Library Research)
Penelitian ini dilakukan dengan telaah pustaka, dengan cara data-data dikumpulkan dengan membaca buku-buku, literatur-literatur, ataupun perundang-undangan yang berhubungan dengan masalah yang akan dibahas.selain itu, data-data juga dikumpulkan dari kantor Walikota dan DPRD Kota Makassar yang kemudian didokumentasikan.
    1. Studi Lapangan (Field Research)
Penelitian lapangan ini bertujuan untuk memporoleh data langsung studi lapangan ini dapat di tempuh dengan cara sebagai berikut:
      1. wawancara
cara memperoleh data dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan langsung kepada narasumber.

      1. kuisioner/angket
cara memperoleh data dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan tertulis kepada responden dalam bentuk angket
      1. Observasi
Dilakukan kunjungan dan pengamatan langsung pada lokasi penelitian


  1. Teknik Analisis Data
Seluruh data yang diperoleh baik data primer maupun data sekunder selanjutnya dianalisis secara kualitatif dan disajikan secara deskripsi yaitu dengan menjelaskan, memaparkan dan menggambarkan permasalahan yang timbul dalam pencapaian Pemerintahan yang baik yang dilaksanakn oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kab.Morowali

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

  1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Profil singkat Kota Makassar
Wisatawan Manca Negara mengenal Kota Makassar lewat Benteng Ujung Pandangnya atau yang terkenal dengan nama benteng Fort Rotterdam. Benteng Ujungpandang merupakan peninggalan sejarah keperkasaan kerajaan masa lalu di Sulawesi Selatan. Kerajaan yang sangat kuat dan berjaya sekitar abad ke – 17 adalah Kerajaan Gowa, dengan ibu kota Makassar. Benteng Ujung Pandang di bangun pada tahun1545 semasa pemerintahan Imanrigau Daeng Bonto Karaeng Lakiung, juga terkenal dengan nama Karaeng Tunipallangga Ulaweng. Pada tahun 1667 ketika kekuatan Gowa dikalahkan oleh Belanda semua perbentengan dimusnahkan, kecuali Benteng Somba Opu. Ketika itu Kerajaan Gowa memiliki 17 benteng. Dua tahun kemudian sesudah perjanjian Bongaya, Benteng Somba Opu kemudian dimusnahkan secara total oleh Belanda. Namun kemudian dibangun kembali oleh Belanda dan diberi nama Fort Rotterdam.
Kini Kota Makassar kembali menjadi Ibu Kota Propinsi Sulawesi Selatan, setelah sebelumnya pernah bernama Kotamadya Ujung Pandang. Kota Makassar terkenal pula sebagai kota “Angin Mamiri” berarti kota dengan hembusan angin sepoi-sepoi basah, Kota ini juga terkenal dengan “Pantai Losarinya” yang indah atau dikenal dengan restoran terpanjang karena pengunjung yang dapat menikmati hidangan lezat sambil menikmati hembusan angin laut yang menyegarkan dan menyaksikan terbenamnya matahari serta keindahan panorama laut. Kota makassar bersuhu 22 – 33o C, dengan luas wilayah 175,77 Km2 dan terus berkembang khususnya ke arah Timur dimana pembangunan infrastruktur seperti perluasan Pelabuhan Laut makasar, bandara Hasanuddin, jalan tol, Kawasan Industri Makassar dan berbagai proyeklainnya tengah dilaksanakan.
Iklim 
Berdasarkan pencatatan Stasiun meteorologi Maritim Paotere, secara rata-rata kelembaban udara 81-91 persen, curah hujan 2729 mm, hari hujan 144 hari temp- eratur udara sekitar 26,7°-28,6°C, dan rata-rata kecepatan angin 4 knot.
Letak geografis
Secara geografis Kota Makassar terletak pada koordinat antara 5o 30’ 18 sampai 5o 14’ 49” Lintang Selatan dan 119o 18’ 97” sampai 119o 32’ 3” Bujur Timur. 
Batas-batas Wilayah 
Sebelah Utara : Kabupaten Pangkep
Sebelah Selatan : Kabupaten Gowa
Sebelah Timur : Kabupaten Maros
Sebelah Barat : Selat Makassar Kota Makassar mempunyai 14 Kecamatan, 1438 Kelurahan dengan nama-nama kecamatan                   
1.   Kecamatan Biringkanaya;
2.   Kecamatan Bontoala;
3.   Kecamatan Makassar;
4.   Kecamatan Mamajang;
5.   Kecamatan Manggala ;
6.   Kecamatan Mariso;
7.   Kecamatan Panakukkang;
8.   Kecamatan Rappocini;
9.   Kecamatan Tallo;
10. Kecamatan Tamalate;
11. Kecamatan Tamalanrea;
12. Kecamatan Ujung Pandang;
13. Kecamatan Ujung Tanah;
14. Kecamatan Wajo.
Penduduk Kota Makassar tahun 2005 tercatat sebanyak 1.193.434 jiwa yang terdiri dari 582.572 jiwa laki-laki atau 49,37% dan 610.862 jiwa perempuan atau 51,36% dari total penduduk Makassar dengan laju pertumbuhan rentang tahun 2002 sampai tahun 2005 sebesar 1,53%.   
  1. Peran Dan Fungsi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah ( DPRD Kota Makassar )
1. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Adalah sebuah Lembaga Perwakilan Rakyat di daerah kota yang terdiri atas anggota partai politik peserta pemilihan umum (Pemilu) yang dipilih berdasarkan hasil pemilihan umum.
DPRD Kota juga berkedudukan sebagai Lembaga Pemerintahan Daerah Kota yang memiliki fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan.
DPRD Kota berada di setiap kota di Indonesia. Anggota DPRD Kota berjumlah 20-450 orang. Masa jabatan anggota DPRD adalah 5 tahun, dan berakhir bersamaan pada saat anggota DPRD yang baru mengucapkan sumpah/janji.
DPRD Kota merupakan mitra kerja walikota (eksekutif). Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Walikota tidak lagi bertanggung jawab kepada DPRD Kota, karena dipilih langsung oleh rakyat melalui Pilkada.



2.Tugas, Wewenang, dan Hak Angota DPRD.
Tugas dan wewenang DPRD Kota adalah:
  • Membentuk Peraturan Daerah Kota yang dibahas dengan Walikota untuk mendapat persetujuan bersama.
  • Menetapkan APBD Kota bersama dengan Walikota.
  • Melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan Peraturan Daerah Kota dan Peraturan Perundang-undangan lainnya, Keputusan Walikota, APBD Kota, kebijakan Pemerintah Daerah dalam melaksanakan program pembangunan daerah, dan kerjasama internasional di daerah.
  • Mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian Walikota/Wakil Walikota kepada Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur.
  • Memberikan pendapat dan pertimbangan kepada Pemerintah Daerah Kota terhadap rencana perjanjian internasional yang menyangkut kepentingan daerah.
  • Meminta Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) Kota dalam pelaksanaan tugas desentralisasi.



Anggota DPRD memiliki hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat. Anggota DPRD Kota juga memiliki hak mengajukan Rancangan Perda Kota, mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat, membela diri, hak imunitas, serta hak protokoler.
Menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susduk MPR, DPR, DPD, dan DPRD, dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, DPRD Kota berhak meminta pejabat negara tingkat Kota, pejabat pemerintah daerah, badan hukum, atau warga masyarakat untuk memberikan keterangan. Jika permintaan ini tidak dipatuhi, maka dapat dikenakan panggilan paksa (sesuai dengan peraturan perundang-undangan). Jika panggilan paksa ini tidak dipenuhi tanpa alasan yang sah, yang bersangkutan dapat disandera paling lama 15 hari (sesuai dengan peraturan perundang-undangan).
3.Alat kelengkapan dan Sekretariat DPRD
Alat kelengkapan DPRD Kota terdiri atas: Pimpinan, Komisi, Panitia Musyawarah, Badan Kehormatan, Panitia Anggaran, dan alat kelengkapan lain yang diperlukan.
Untuk mendukung kelancaran pelaksanaan tugas DPRD, dibentuk Sekretariat DPRD Kota yang personelnya terdiri atas Pegawai Negeri Sipil. Sekretariat DPRD dipimpin seorang Sekretaris DPRD yang diangkat oleh Walikota atas usul Pimpinan DPRD Kota.
Untuk meningkatkan kinerja lembaga dan membantu pelaksanaan fungsi dan tugas DPRD secara profesional, dapat diangkat sejumlah pakar/ahli sesuai dengan kebutuhan. Para pakar/ahli tersebut berada di bawah koordinasi Sekretariat DPRD Kota.



4.Kekebalan Hukum
Anggota DPRD Kota tidak dapat dituntut di hadapan pengadilan karena pernyataan, pertanyaan/pendapat yang dikemukakan secara lisan ataupun tertulis dalam rapat-rapat DPRD, sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Tata Tertib dan kode etik masing-masing lembaga. Ketentuan tersebut tidak berlaku jika anggota yang bersangkutan mengumumkan materi yang telah disepakati dalam rapat tertutup untuk dirahasiakan atau hal-hal mengenai pengumuman rahasia negara.
5.Penyidikan
Jika anggota DPRD Kota diduga melakukan perbuatan pidana, pemanggilan, permintaan keterangan, dan penyidikannya harus mendapat persetujuan tertulis dari Gubernur atas nama Menteri Dalam Negeri. Ketentuan ini tidak berlaku apabila anggota DPRD melakukan tindak pidana korupsi dan terorisme serta tertangkap tangan.









Tabel 2
Data Kemajuan Peran dan Fungsi lembaga dewan perwakilan rakyat Daerah
No.
Keterangan
Jumlah
Persentase
1.
2.
Ya
Tidak
31
27
53,45%
46,55%

Total
58
100%
Sumber: Hasil Penyebaran Kuisioner 2010
Tabel 3
Data Kepemilikan Sertifikat Setelah Bencana Banjir
Masyarakat Desa Bialo Kecamatan Gantarang Kabupaten Bulukumba
No.
Keterangan
Jumlah
Persentase
1.
2.
Ya
Tidak
23
35
39,65%
60,35%

Total
58
100%
Sumber: Hasil Penyebaran Kuisioner 2010
Tabel di atas menunjukkan bahwa sebelum bencana banjir bandang melanda Kabupaten Bulukumba, masih ada masyarakat yang belum memiliki sertifikat. Ada sebanyak 27 orang (46,55%) yang memang belum pernah mendaftarkan tanahnya di Kantor Pertanahan dan sebanyak 31 orang (53,45%) yang sudah memiliki sertifikat. Setelah bencana banjir bandang, masyarakat yang memiliki sertifikat tanah sebanyak 23 orang (39,65%). Jadi, ada sebanyak 8 orang yang sertifikatnya hilang/rusak setelah bencana banjir.

Tabel 4
Pendapat Responden Tentang efektifitas Peran dan Fungsi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Makassar dalam mewujudkan pemerintahan yang baik.
No.
Keterangan
Jumlah
Persentase
1.
2.
3.
Sangat Efektif
Efektif
Tidak Efektif
25
0
2
92,59%
0 %
7,41%

Total
27
100%
Sumber: Hasil Penyebaran Kuisioner 2010

Tabel 5
Pendapat Responden Tentang Tingkat kesuksesan Dalam menjalankan Peran dan fungsi Dewan Perwakilan rakyat daerah kota Makassar dalam menjalankan Fungsi,legislasi,anggaran dan pengawasan terhadap pemerintah.
No.
Keterangan
Jumlah
Persentase
1.
2.
Hilang/Rusak
Dari awal tidak ada
8
27
22,86%
77,14%

Total
35
100%
Sumber: Hasil Penyebaran Kuisioner 2010

Tabel 6